Bahaya pengawet natrium dehidroasetat pada roti Okko ini ternyata bisa memicu kanker. Pengawet yang biasa dalam kosmetik terdapat dalam roti Okko, yang terproduksi oleh PT Abadi Rasa Food. Meskipun produk tersebut sudah mulai menariknya dari peredaran, bagaimana jika konsumen sudah terlanjur mengonsumsi roti Okko?
Ketua Umum PERGIZI PANGAN Indonesia, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, yang juga Guru Besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan pakar teknologi pangan, menjelaskan potensi bahaya konsumsi pengawet natrium dehidroasetat.
“Berdasarkan temuan sebelumnya yang teruji pada hewan percobaan, seperti tikus, pengawet ini dapat menyebabkan iritasi dan luka pada saluran pencernaan, termasuk lambung,” jelasnya kepada detikcom.
Bahaya Pengawet Natrium Dehidroasetat Pada Roti Okko
Masyarakat harap waspada bila mengeluhkan gejala terasa perih, tetapi keluhan ini juga tidak selalu bisa memastikan akibat paparan pengawet berbahaya. Sehingga langkah yang tepat adalah segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Temuan dalam studi hewan juga menunjukkan di level atau kadar tinggi, natrium dehidroasetat bisa memicu risiko jangka panjang termasuk gangguan pada jantung hingga kanker.
“Memang bisa menyebabkan iritasi, luka pada saluran cerna termasuk ke lambung. Kemudian kalau dosisnya lebih tinggi lagi, sebelum ke kanker, ke gangguan pembuluh darah, risiko jantung koroner,” terang dia.
Menyoal kasus terkait, Prof Hardin menilai BPOM perlu melakukan pengawasan pro aktif pada pangan setelah beredar di pasar. Mengingat, banyak konsumen yang juga tidak mengetahui betul kandungan komposisi produk.
“Inilah pentingnya peran good manifacturing practice dari dunia usaha diawasi BPOM. Ini kan konsumen itu awam, ngerti juga tidak, kalaupun dicantumkan dilabel kan nggak ngerti juga,” tuturnya.
“Di labelnya ada nggak sih zat itu? Kalau nggak itu pelanggaran,” lanjut dia.
BPOM hingga kini belum mengizinkan natrium dehidroasetat sebagai bahan tambahan pangan (BTP) pengawet, zat tersebut baru mengantongi izin penggunaan di produk kosmetik dengan batas maksimal 0,6 persen.