Kampung Naga, yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, memiliki kehidupan sosial yang sangat berbeda. Kehidupan sosial masyarakatnya relatif terbuka, meskipun mereka kampung adat. Mereka mampu menerima kemajuan dan perkembangan zaman.
Mereka mengikuti aturan adat, termasuk larangan-larangannya. Selama tidak ada larangan atau pelanggaran, semua berjalan seperti biasa.
Banyak hal menunjukkan hal itu. Misalnya, orang-orang di Kampung Naga terlihat menggunakan ponsel untuk berkomunikasi; beberapa rumah memiliki televisi; ibu-ibu juga menggunakan perabotan plastik; dan pakaian tidak hanya pakaian adat. Selain itu, semua anak-anak di Naga Village bersekolah atau menerima pendidikan formal.
Di Kampung Naga memang tidak ada sambungan listrik. Aturan adat menolak adanya sambungan listrik ke lingkungan mereka.
Tapi televisi bisa menggunakan sumber listrik dari accu, untuk isi ulang baterai ponsel mereka lakukan di luar kampung adat atau di sekitar parkiran. “Sampai kapan pun listrik akan ditolak, karena sudah menjadi larangan,” kata Ma’un.
Selain dilarang secara adat, dia juga mengatakan alasan logis dari penolakan listrik. “Kampung ini kan rumahnya berbahan kayu beratap ijuk, rentan kebakaran kalau sampai ada listrik,” kata Ma’un, Punduh Kampung Naga, beberapa waktu lalu.
Dia mengaku optimistis aturan adat di kampungnya akan tetap terjaga sampai kapan pun. Karena aturan adat hanya berlaku di kampung mereka saja. Artinya jika ada anak atau warga Kampung Naga yang merasa tak betah atas aturan-aturan adat itu, maka mereka dipersilahkan untuk keluar.
Namun keluar dari kampung bukan berarti terusir, hubungan silaturahmi tetap baik dan tetap diakui sebagai warga Kampung Naga.
“Kalau malam ingin terang benderang, ingin hidup modern. Ya tinggal keluar saja, mudah kan?. Kapan pun mau kembali silahkan, asal harus kembali ikuti aturan,” kata Ma’un.
Masyarakat Kampung Naga menyandarkan kebutuhan hidup dari hasil tani padi, perikanan dan kerajinan anyaman bambu.
Sementara anak-anak muda Kampung Naga juga banyak yang merantau bekerja ke luar kota atau bekerja di luar dari Kampung Naga. Anak-anak perempuan juga banyak yang menikah dan ikut suami menetap di luar kampung. Semua itu tak jadi persoalan, hanya saja ketika pulang ke Kampung Naga, mereka wajib kembali mentaati aturan adat.
Dalam setahun setidaknya ada 6 momentum dimana warga Kampung Naga kembali ke kampung dan menggelar acara adat. Keenam acara itu adalah 1 Muharam, bulan Mulud, Jumadil Akhir, Sya’ban, Idul Fitri dan Idul Adha.
Aturan lain di Kampung Naga ini menyangkut jumlah rumah yang tidak boleh bertambah. Semuanya ada 112 termasuk mesjid, balai pertemuan dan Bumi Ageung.
Selain itu ada aturan atau larangan merambah atau masuk ke hutan larangan atau hutan keramat yang berada di seberang sungai Ciwulan. Aturan ini juga dipegang teguh, bahkan untuk sekedar memungut ranting patah pun masyarakat tak berani. Imbasnya keseimbangan ekosistem dan kelestarian alam di lingkungan itu tetap terjaga.
“Boleh mengambil sesuatu dari hutan itu untuk kepentingan pengobatan, tapi syaratnya sebelah kaki harus tetap terendam sungai Ciwulan. Ya memang susah, jadi lebih baik tidak usah masuk,” kata Ma’un. Di samping itu masih banyak aturan-aturan adat yang berlaku dan selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Kampung Naga.