Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan Indonesia tentang kemungkinan munculnya perusahaan zombie di negara itu.
Perusahaan yang “hidup segan mati tak mau” disebut sebagai perusahaan zombie. Tekanan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 dan peningkatan beban suku bunga adalah penyebab fenomena ini.
Perusahaan semakin tertekan karena kenaikan suku bunga. Perusahaan zombie ini biasanya bekerja di ritel, akomodasi, dan pengolahan.
“Rasio utang perusahaan memang terbilang rendah (38,4% dari Produk Domestik Bruto) tetapi analis kami menunjukkan perusahaan-perusahaan tersebut akan sangat sensitif terhadap dampak kenaikan suku bunga,” ungkap IMF dalam laporannya.
Suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) telah dinaikkan sebesar 225 basis poin (bps) menjadi 5,75% sejak Agustus 2022. Selama tiga bulan berturut-turut pada September, Oktober, dan November 2022, BI tercatat menaikkan suku bunga secara agresif sebesar 50 bps.
Perusahaan yang rentan ini memiliki “risiko utang” dan memiliki rasio cakupan bunga atau interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1. ICR menghitung kemampuan operasi perusahaan untuk menutupi bunga pinjaman eksternal. ICR adalah dua kali aman bagi perusahaan.
Data IMF menunjukkan bahwa 28% dari perusahaan yang disurvei memiliki ICR di bawah satu atau memiliki risiko utang.
IMF menyatakan bahwa peningkatan jumlah bisnis dengan ICR rendah pasti akan berdampak pada perbankan yang memberikan kredit kepada bisnis tersebut.
Perkembangan ini menyebabkan perbankan Indonesia mengalami kesulitan karena kenaikan suku bunga.
Sejauh ini, bank domestik telah mengurangi kerugian dengan menjamin risiko kehilangan aset dan menyeimbangkan portofolio obligasi pemerintah dari available for sale (AFS) menjadi hold to maturity (HTM). Mereka juga telah meningkatkan loan loss provisions atau cadangan kerugian atas penurunan nilai kredit (CKPN).
Reorganisasi Bank
Dalam laporannya, International Monetary Fund memberikan peringatan tentang inisiatif restrukturisasi kredit perbankan. Program ini merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi risiko selama pandemi COVID-19.
Dalam hal ini, program yang dimulai pada Maret 2023 telah diperpanjang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Maret 2024. Namun, tidak semua sektor menerima perpanjangan tersebut.
IMF mengungkapkan perpanjangan restrukturisasi kredit memang hanya berlaku untuk sejumlah sektor, termasuk UMKM. Dari peserta restrukturisasi kredit, 30% adalah UMKM. Namun, IMF mengingatkan jika pemulihan ekonomi yang sudah berjalan seharusnya mampu membuat perusahaan tersebut kuat.
“Pemulihan ekonomi sudah berjalan baik sehingga bank seharusnya memiliki posisi yang lebih baik dalam menghitung risiko kredit,” ungkap IMF.
Lembaga internasional ini menjelaskan jika otoritas terus bersabar agar perusahaan tersebut tumbuh baik maka hal itu justru bisa memunculkan perusahaan zombie. Pasalnya, perusahaan bisa tergantung ke utang sehingga malah tidak cepat bangkit.
“Memperpanjang (kesabaran) akan terus meningkatkan risiko moral hazard, penundaan pengakuan kerugian dan memperpanjang eksistensi perusahaan zombie,” tambah IMF.