5 bentuk standar ganda yang masih sering perempuan hadapi membatasi ruang gerak mereka. Kesetaraan gender atau gender equality tetap menjadi isu global yang terus diperjuangkan oleh banyak pihak. Meskipun demikian, menurut laporan dari World Economic Forum, perkiraan akan membutuhkan hampir 136 tahun lagi untuk mencapai kesetaraan gender secara global. Laporan tersebut menyoroti empat sektor kunci: partisipasi dan peluang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan politik.
Masih ada banyak ketidakadilan yang perempuan hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah adanya double standard atau standar ganda yang menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Standar ganda merujuk pada kondisi di mana serangkaian prinsip yang berbeda menerapkan untuk situasi yang seharusnya sama. Ini sering terlihat dalam perlakuan di mana satu kelompok memberikan lebih banyak kebebasan atau kelonggaran daripada yang lain, seperti dalam kasus ketidaksetaraan gender.
Berikut adalah beberapa bentuk standar ganda yang masih sering perempuan alami. Simak ulasannya!
5 Bentuk Standar Ganda yang Masih Sering Perempuan Hadapi
Perempuan yang Ambisius Dinilai Bossy hingga Egois

Menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ambisius terartikan sebagai keinginan yang kuat untuk mencapai suatu tujuan, harapan, atau cita-cita. Semua manusia berhak untuk menjadi ambisius dalam menggapai mimpi-mimpinya. Namun yang sering kali ditemui di lapangan, ketika perempuan ingin menjadi ambisius, masyarakat justru menganggapnya sebagai hal negatif.
Mereka akan dicap sombong, bossy, haus kekuasaan, bahkan egois. Sangat ironis ketika sukses dan ambisius berkorelasi positif dengan pria, namun tidak halnya dengan perempuan. Padahal, terlepas dari gender, semua memiliki hak untuk menjadi ambisius.
Mewujudkan keinginan adalah hak setiap orang selama tidak merugikan pihak tertentu. Rasa kompetitif dan ambisius yang dimiliki oleh perempuan juga bukan karena ingin adu kuat atau kepintaran. Ia akan menjalankan apa yang ia yakini dan mengusahakan hal terbaik menurut versinya.
Suami Dipuji Ketika Mengasuh Anak, Namun Jadi Hal Biasa bagi Istri

Sebuah studi tahun 1998 di Psychology of Women Quarterly menemukan bahwa seorang suami akan mendapat lebih banyak pujian dan dikagumi ketika mereka terlibat dalam mengasuh anak. Standar ganda ini sudah mengakar cukup kuat di masyarakat hingga saat ini.
Ketika seorang ibu merawat anak-anaknya, masyarakat menganggap bahwa itulah yang memang diharapkan dari sosok ibu. Namun ketika suami ikut membantu mengasuh anak, entah menyuapi atau mengganti popok, dianggap sebagai prestasi yang luar biasa. Padahal, baik ayah atau ibu, wajib bersama-sama mengurus dan mengasuh anaknya.
Dad Bod Dianggap Menarik, Tapi Perempuan Diharapkan Langsing Usai Melahirkan

Dad bod adalah istilah untuk para pria dengan tubuh yang tidak terlalu gemuk namun memiliki perut buncit dan otot lengan serta perutnya sedikit nampak. Bentuk tubuh ini dinilai atraktif, dan tak sedikit perempuan yang menyukai dad bod ini.
Namun di sisi lain, perempuan yang baru saja melahirkan seakan dituntut untuk mendapatkan tubuh idealnya kembali. Tak sedikit perempuan yang berjuang mati-matian untuk membuat tubuhnya langsing kembali usai persalinan dengan berbagai cara. Biasanya, hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan dari masyarakat, bahkan tak jarang dari orang terdekat.
Tanggung Jawab Mengasuh Anak Dibebankan pada Perempuan

Menurut data dari Bureau of Labor Statistics, sekitar 2,5 juta perempuan berhenti dari pekerjaan mereka selama pandemi COVID-19. Sebab, banyak sekolah dan tempat penitipan anak yang terpaksa berhenti beroperasi karena pandemi. Sementara itu, pria yang berhenti dari pekerjaan sekitar 1,8 juta orang. Adanya perbedaan yang signifikan ini menjadi bukti bahwa sebagian besar perempuan bertanggung jawab untuk mengasuh anak.
“Perempuan cenderung lebih banyak menempati posisi penting dalam pekerjaan, dan itu adalah yang sering kali tidak dapat dilakukan dari rumah. Mereka harus keluar [rumah],” kata Liz Elting, pendiri dan CEO Elizabeth Elting Foundation, dikutip dari Insider. Kalaupun seorang ibu bekerja dari rumah, mereka akan melakukannya sembari mengasuh dan merawat anak, di mana ini bukanlah hal yang mudah.
Tuntutan Masyarakat dalam Usia Menikah

Ada banyak tuntutan masyarakat yang ditujukan pada perempuan. Dan tuntutan tersebut seakan-akan harus dipatuhi, jika tidak, maka siap-siap saja menjadi bahan pergunjingan. Sebagai contoh, seorang perempuan di usia 24 ke atas mungkin akan dihantui dengan pertanyaan kapan menikah.
Menurut masyarakat, umur tersebut adalah umur ideal perempuan untuk menikah. Jika lambat menikah, maka akan dicap tidak laku, terlalu pilih-pilih, dan anggapan menghakimi lainnya. Sementara untuk pria, jika mereka belum menikah hingga usia 30-an, maka dianggap hal yang wajar. Bahkan dibilang, menjadi usia yang matang.
Bagaimana menurutmu? Apakah kamu pernah berhadapan dengan standar ganda seperti yang disebutkan dalam kehidupan sehari-hari?