Mengapa sinetron Indonesia berbeda jauh dengan drama Korea? Mungkin pertanyaan itu pernah terlintas dalam pikiranmu. Sinetron televisi masih jadi salah satu pilihan hiburan utama bagi masyarakat Indonesia. Opera sabun itu tetap jadi favorit banyak orang meski terdapat opsi tontonan lain, sebut saja drama Korea. Kendati demikian, sistem stripping, jam penayangan, jumlah episode, hingga kualitas cerita dari sinetron televisi Indonesia membuatnya kerap membandingkan dengan drama Korea.
Meski sesungguhnya drama Korea juga ada yang memiliki ratusan episode, sebagian besar drama Korea terutama yang hit di Indonesia, hanya memiliki 12-20 episode, plot yang tampak baru di setiap judul, dan hampir seluruhnya tayang dua episode per pekan. Episode yang singkat tak berarti drama Korea memproduksinya dengan cepat. Proses produksi drama Korea membutuhkan waktu panjang hingga akhirnya rilis di saluran televisi nasional atau layanan streaming.
Mengapa Sinetron Indonesia Berbeda Jauh dengan Drama Korea?
Melansir dari CNNIndonesia.com, sutradara sekaligus penulis naskah film dan drama Korea Park In-je mengonfirmasi hal itu. Moving menjadi salah satu garapan terbaru Park In-je pada 2023. Park In-je mengakui butuh waktu lama untuk menyiapkan 20 episode serial fantasi Moving. Memerlukan lebih dari dua tahun dari mengembangkan cerita hingga selesai syuting.
“Kami mulai mengerjakan Moving pada Februari 2021 dan kami menyelesaikannya [semua proses] Agustus 2023. Itu berarti keseluruhan prosesnya memakan waktu sekitar dua tahun enam bulan,” ungkap Park In-je.
“Untuk periode syuting, kami syuting dari Agustus hingga Juli, 11 bulan penuh. Dan kemudian membutuhkan satu tahun lagi untuk pasca produksi dan aspek VFX,” pengakuannya.
Sebelum masuk tahap produksi, ia mengaku tim sudah membuat storyboard untuk semua adegan. In-je mengatakan mereka memiliki tiga jilid besar storyboard untuk drama yang tayang perdana pada Agustus 2023 itu. Storyboard itu sangat penting sehingga manajemen waktu dalam tahap produksi bisa berjalan baik. Hal tersebut juga berkaitan dengan pemberian efek visual yang membuat mereka tak mudah sesuka hati mengubah rencana.
Tak hanya tim produksi, partisipasi aktif dari artis juga diperlukan demi memastikan tak banyak perubahan ketika mulai syuting. Seluruh pemain biasanya akan melakukan pembacaan naskah secara bersama-sama untuk pertama kalinya. Tak hanya untuk drama Moving, proses itu dilakukan oleh semua rumah produksi drama Korea dan biasanya dipublikasikan melalui media sosial mereka.
“Tak mudah untuk melakukan modifikasi di set. Banyak yang harus sudah selesai dari tahap praproduksi agar semuanya dapat berjalan sesuai jadwal yang ditentukan,” tuturnya.
“Jadi, kami menyiapkan semuanya dan ketika menyangkut manajemen waktu, karena kami sudah memiliki storyboard yang sudah direncanakan. Kami melakukan semua sesuai rencana, seperti adegan mana saja yang harus kami rekam untuk setiap episode.”
Rating vs Everybody
Sistem produksi seperti itu yang menurut tim produksi industri sinetron sulit diterapkan di Indonesia, terutama bagi tayangan-tayangan free to air di televisi. Maruska Bath sebagai salah satu penulis naskah sinetron mengungkapkan satu hal yang benar-benar menjadi pembeda dengan drama Korea, yakni rating. Rating pula yang dinilai berdampak pada kualitas, penulisan naskah dan jadwal syuting.
Tak hanya itu, rating juga berpengaruh kepada iklan. Sinetron Indonesia dan drama Korea sesungguhnya sama-sama menyisipkan sponsor atau product placement (PPL) dalam kisahnya. Namun, Indonesia menyebut tak bisa seperti Korea yang benar-benar sejak awal sudah menyiapkan segalanya. Terlebih lagi, rating per episode bisa memengaruhi jumlah iklan atau sponsor yang masuk dan kadang perlu menambah dalam adegan.
Maruska pada dasarnya tak pernah menutup harapan sinetron Indonesia bisa berkembang seperti drama Korea, terutama dari segi kualitas. Terlebih lagi, Indonesia dulu bisa menerapkan sistem sinetron satu episode per pekan dan sistem per musim. Namun, bujet produksi dan penghasilan dari stripping diyakini menjadi hal yang sangat memengaruhi hal itu bisa terealisasi atau tidak.
Ia pun semakin menyadari hal itu ketika sempat melakukan kunjungan langsung ke Korea Selatan dan berdialog dengan pelaku industri.
“Karena bujet. Waktu di sana [Korea], kami lihat creative process-nya segala macam. Aku sempat tanya satu naskah satu episode berapa kalau penulis, dan kaget sih dengar jawabannya karena [bujetnya] hampir tujuh sampai delapan kali lipat daripada di sini,” tuturnya.
“Jauh [sistem dan infrastruktur sinetron Indonesia dengan Korea]. Dari segi kostum dan make-up aja semuanya jauh,” ia menegaskan.
“Tapi memang harus aku akui, money maker ada di situ. Money maker untuk pemain, penulis, stasiun TV, produser, PH memang ada di situ.”