Greenwashing wastra dan industri fashion Indonesia di 2024 ini memang sedang menjadi perbincangan hangat dunia fashion. Perhatikan sejenak, seberapa banyak pakaian baru yang kamu beli dalam satu bulan? Apakah keputusan pembelianmu terpengaruh oleh harganya yang sangat terjangkau sehingga membeli tanpa berpikir panjang? Lebih lagi, apakah kita selalu memperhatikan bahan kain yang mereka gunakan?
Tanpa sadar, tindakan-tindakan sehari-hari kita dapat berkontribusi pada dampak buruk industri fashion terhadap lingkungan. Tak heran jika kini industri fashion terakui sebagai salah satu sektor yang kurang berkelanjutan. Menurut data yang World Economic Forum sajikan, industri fashion menyumbang sekitar 10% emisi karbon secara global. Menjadi konsumen air terbesar kedua di dunia. Menghadapi krisis ini, sejumlah upaya telah dilakukan oleh pelaku industri untuk menjadikan fashion lebih ramah lingkungan. Namun sayangnya, beberapa di antaranya terjebak dalam praktik greenwashing.
Ali Charisma, seorang desainer dan Ketua Indonesian Fashion Chamber (IFC). Membahas isu ini bersama pembicara lainnya dalam BRICS+ Fashion Summit di Moskow, Rusia pada tanggal 13 Desember 2023, khususnya dalam sesi “Marketing Lingkungan yang Transparan atau Greenwashing.” Greenwashing adalah strategi pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan citra ramah lingkungan di mata konsumen, meskipun kenyataannya tidak sepenuhnya mendukung atau bahkan bertentangan dengan konsep ramah lingkungan.
Sustainable fashion telah menjadi perhatian global dalam beberapa tahun terakhir, sejalan dengan eskalasi perubahan iklim. Lebih dari sekadar menjalankan bisnis yang ramah lingkungan, keberlanjutan (sustainability) juga melibatkan berbagai aspek yang membuat konsep ini menjadi relatif kompleks. Ali Charisma membahas konsep keberlanjutan dengan lebih mendalam, dengan fokus pada kain tradisional Indonesia atau wastra.
Greenwashing Wastra dan Industri Fashion Indonesia 2024
Mengenal Wastra yang Berkelanjutan
Saat membicarakan fashion berkelanjutan, maka terdapat sejumlah aspek yang perlu diperhatikan. Ali merangkum fashion berkelanjutan menjadi 3 hal yang tidak bisa terpisahkan, yaitu melakukan yang terbaik untuk lingkungan, manusia, dan bisnis. Melakukan konsep sustainability seutuhnya perlu mempertimbangkan ketiga hal tersebut sehingga untuk sebuah bisnis fashion mencapai keberlanjutan menjadi tantangan cukup rumit dan sulit dilakukan. Usaha mencapai keberlanjutan pun masih dilakukan secara parsial oleh pelaku industri fashion Indonesia. “Kadang-kadang konsepnya sudah bagus, tekniknya sudah benar, tapi secara bisnis tidak survive,” Ali menyebutkan salah satu contohnya.
Dari segi pemakaian bahan baku, wastra tergolong ramah lingkungan karena kain berasal dari bahan alami. Sebut saja sutra atau serat nanas yang kerap digunakan sebagai tekstil. Meski demikian, berlimpahnya bahan alami yang dapat dimanfaatkan diduga berdampak pada minimnya urgensi untuk berinovasi, menghasilkan material alternatif ramah lingkungan, seperti alternatif kulit asli (vegan leather) sebagaimana telah diadopsi sejumlah merek fashion global.
Terkait hal ini, Ali menuturkan bahwa “di Indonesia scope-nya masih kecil, masih sekadar eksperimental dari sekolah-sekolah tekstil. Pada mencari jalan juga sebenarnya, bagaimana caranya supaya bisa bersaing di pembuatan bahan baku tersebut dari bahan-bahan alami”.
“Saya tetap berpikiran bahwasanya teknologi seperti yang di luar [negeri] itu penting banget. Mungkin suatu hari kita juga akan menciptakan teknologi-teknologi yang bisa membuat produk-produk pengganti kulit atau hal lainnya yang ada hubungannya dengan konsep sustainability” lanjutnya. “Mungkin itu salah satunya kita berlimpah dengan bahan alami yang secara raw aja masih bisa kita pergunakan dan masih banyak yang belum bisa kita olah, makanya belum ada urgensi ke sana [inovasi material alternatif]”.
Greenwashing pada Wastra
Produk lokal wastra pun tak luput dari greenwashing. Agar sebuah bisnis dapat mengklaim sustainable, proses yang dilakukan selama produksinya harus tepat dan transparan. “Kalau sustainable itu harus clear (jelas) menceritakan semuanya harus jelas jadi menghindari kesalahpahaman,” Ali menerangkan.
Pada kain batik, misalnya, “Supaya kelihatan kayak batik tulis atau supaya kelihatan seperti batik walaupun itu bukan batik, anggap aja cap kayak gitu. Tapi waktu jualan tidak ada informasi yang jelas bahwasanya itu print”. Cara lain yang biasa ditemukan yakni batik cap yang ditumpuk dengan sedikit batik tulis sehingga beri kesan batik tulis bagi konsumen, tapi tidak ada konfirmasi bahwa itu adalah batik kombinasi oleh penjual.
Begitu pula dengan kain tenun yang juga marak beredar di pasaran. Penjual harus menginformasikan kepada pembeli proses di balik pembuatan tenun. “Kalau tenun itu juga kan ada tenunnya yang ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) atau gedokan atau tenunnya itu sudah tenun mesin. Kalau tenun mesin kan ya beda,” kata Ali. “Yang penting si penjualnya itu jujur”.
Jadi Konsumen Bijak dan Kritis Menjadi Kunci Penting
Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai konsumen agar terhindar dari produk greenwashing? Teliti menjadi kata kunci. “Konsumen harus mulai pintar dan aware, harus nanya, jangan berasumsi,” saran Ali. Konsumen harus berbekal ilmu dasar dari bisnis fashion sebelum membeli sesuatu, seperti siapa yang membuat dan bagaimana cara membuatnya. Dengan begitu, konsumen bisa lebih cermat saat membeli produk fashion yang dengan klaim berkelanjutan.
Menyeimbangkan Sustainability dan Bisnis
Sustainable fashion juga semakin sering tertekan oleh pemilik bisnis dewasa ini. Lewat IFC, Ali konsisten mendorong konsep sustainability supaya bisa menjalankan oleh semua pelaku industri fashion. “Sekarang ini menurut saya progresnya baru mencapai awareness. Jadi masyarakat sudah sering denger kata-kata sustainable fashion, terus pelaku-pelaku atau desainer, brand owner sudah berusaha. Baru berusaha menciptakan konsep sustainability dalam bisnis mereka”.
Bagaimanapun, sustainability hanya bertujuan untuk bisnis yang terbukti mencentang semua kriteria. Namun tak dapat terpungkiri bahwa semua kriteria yang ada cukup rumit untuk terdorong bersamaan.
“Balance (keseimbangan) itu kita menciptakan produk yang tidak berlebihan dan berkualitas bagus,” sang desainer yang kini berbasis di Bali tersebut menjelaskan. Menyuguhkan produk yang tepat pada konsumen diperkirakan bisa menjadi jalan keluar konsumerisme. “Kita menyarankan mereka [konsumen] membeli produk yang baik, baik terhadap lingkungan, baik terhadap sesama––maksudnya terhadap manusia, prosesnya. Dan tentunya, seharusnya konsep sustainability juga akan menaikkan bisnis kita”.
Hal ini juga dapat terpenuhi saat terdukung oleh pelaku industri terlatih dan semakin awas terhadap sustainable fashion. Karenanya, pendampingan UMKM untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi agar awet serta mendahulukan proses yang benar sesuai kaidah berkelanjutan juga harus menerapkannya.
Potensi Wastra dan Busana Muslim Indonesia di Pasar Global
Terlepas dari tren fashion global yang siap merajalela di tahun 2024, industri fashion Indonesia juga punya agendanya sendiri. Tanpa meninggalkan konsep sustainability, misi ambisius terancang: menjadikan Indonesia sebagai pusat modest fashion dunia.
Untuk membuat Indonesia “seksi” di mata para pecinta modest fashion global, langkah telah berlaku sejak beberapa tahun terakhir. Di mana IN2MF (Indonesia International Modest Fashion Festival) dan Jakarta Modest Fashion Week (JMFW) tergelar. Masing-masing IFC bersama dengan Bank Indonesia dan Kementerian Perdagangan RI.
Keduanya terakui jadi pencapaian IFC yang membanggakan buat Ali karena merupakan bukti nyata dukungan pemerintah untuk memajukan fashion Indonesia. Terutama dari ranah busana muslim yang begitu banyak peminat. “Kekuatan inilah yang terbesar yang kita punya saat ini untuk bersaing di industri fashion secara global,” kata Ali optimis.
Wastra pun turut pegang andil dalam mempopulerkan fashion indonesia di kancah dunia. Melihat prospek pasar modest fashion yang begitu besar, alangkah baiknya industri fashion dalam negeri melindungi pasar tersebut dengan cara mengoptimalkan kesempatan, seperti memperkuat desain busana muslim menggunakan wastra.
“Saya sih sangat berharap semoga perusahaan tekstil yang besar-besar juga terinspirasi juga nge-develop bahan baku yang inspirasinya dari wastra Indonesia sehingga dari segala lini pasar baik yang bawah, menengah, menengah bawah, menengah atas, dan kelas atas itu ada sentuhan wastra atau motif-motif wastra yang familiar sehingga wastra semakin trending di dalam maupun di luar negeri,” tutur Ali.
Tahun kedelapan berdirinya IFC yang jatuh pada Desember 2023 juga mengiringi harapan Indonesia tidak sekadar destinasi belanja. Tetapi juga sebagai sumber inspirasi serta tren busana muslim global. “Untuk 2024, kita [IFC] melanjutkan program-program dari tahun 2023 yang mana kita tentunya tetap concern dan akan mendorong terus konsep sustainability dan penggunaan kain wastra di industri fashion Indonesia maupun fashion-fashion yang kita dorong untuk pasar global,” tutupnya.