Desa Penglipuran, yang terletak di Kabupaten Bangli, Bali, baru-baru ini diakui sebagai salah satu desa wisata terbaik di dunia. Pengakuan ini diumumkan dalam Sidang Umum ke-25 Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) yang diselenggarakan di Samarkand, Uzbekistan, pada tanggal 16-20 Oktober 2023.
Penghargaan yang diberikan oleh UNWTO ini bertujuan untuk menghargai desa-desa di seluruh dunia yang berperan aktif dalam menjaga keindahan lingkungan pedesaan, melestarikan kekayaan alam, keanekaragaman budaya, nilai-nilai lokal, dan tradisi kuliner. Dalam sidang tersebut, sebanyak 54 desa dari berbagai penjuru dunia diakui sebagai yang terbaik. Dengan demikian, total terdapat 74 desa yang masuk dalam daftar prestisius ini.
Mengutip dari situs Kemenparekraf Wonderful Indonesia, Desa Penglipuran adalah salah satu desa wisata unggulan di Bali dan telah masuk dalam kategori desa wisata mandiri. Pada September 2022 lalu, Desa Wisata Penglipuran dikunjungi perwakilanUNWTO, Menteri Pariwisata G20, sejumlah organisasi internasional, serta stakeholder pariwisata nasional dan internasional dalam rangka perayaan World Tourism Day.
Pada kesempatan itu, Sekjen UNWTO Zurab Pololikashvili menyarankan agar Desa Penglipuran diikutsertakan ke ajang Best Tourism UNWTO.
“Sekjen UNWTO Mr. Zurab sangat terkesima dengan keindahan Desa Wisata Penglipuran dan sempat menanyakan kenapa tidak diikutkan ke ajang Best Tourism Village UNWTO. Dengan dorongan dari Sekjen, kami akan tindak lanjut di event depan,” ungkap Menparekraf/Kabaparekraf, Sandiaga Salahuddin Uno di Desa Wisata Penglipuran, kala itu.
Sebelum masuk ke dalam desa terbaik dunia versi UNWTO, Desa Penglipuran pernah menggaet penghargaan sebagai desa terbersih dunia menurut Green Destination Foundation, seperti dikutip oleh Ocean Earth Travel. Selain lingkungannya yang bersih, Desa Penglipuran memiliki rumah tradisional dengan ciri arsitektur yang khas dan nilai budaya yang kental.
Mengutip situs Pemerintah Provinsi Bali, rumah di sini memiliki bentuk serupa yang tersusun rapi dari ujung utama desa hingga bagian hilir desa. Setiap pekarangan memiliki angkul-angkul (pintu gerbang khas Bali) yang saling berhadapan antar rumah dan dipisahkan oleh jalan utama desa. Penataan fisik dari struktur desa ini merupakan bentuk warisan budaya masyarakatnya yang terus memegang teguh falsafah Tri Hita Karana.
Falsafah ini merupakan falsafah dalam agama Hindu yang selalu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Tuhan.