Ironi dari tempat wisata yang pernah viral ini menjadi permasalahan wisata Indonesia. Fenomena tempat wisata yang menjadi viral sering kali memicu lonjakan kunjungan dari wisatawan yang berduyun-duyun datang. Sayangnya, dampak dari peningkatan jumlah pengunjung ini dapat merusak tempat wisata yang tadinya menjadi sorotan.
Salah satu contoh baru-baru ini terjadi pada Rumah Abah Jajang di Cianjur. Rumah yang mendapat julukan sebagai tempat pemandangan “surga” berkat keberadaan Curug Citambur di depannya. Sayangnya, ketenaran Rumah Abah Jajang yang tersebar di media sosial membuat halaman rumahnya mengalami kerusakan akibat tingginya jumlah pengunjung yang datang.
Akan tetapi, apa yang kerusakan rumah Abah Jajang alami bukanlah yang pertama terjadi.
Ironi dari Tempat Wisata yang Pernah Viral
Salah satu kasus yang pernah ramai adalah tercemarnya kawasan Ranu Kumbolo. Setelah membludaknya pengunjung usai menyaksikan film “5 cm” pada 2012, sehingga terinspirasi untuk datang. Kawasan Ranu Kumbolo yang awalnya asri, bersih, terjaga dan sakral bagi warga sekitar. Kawasan menjadi tercemar sampah plastik, bau pesing, hingga kotoran manusia. Jumlah sampah bahkan pernah mencapai enam ton dalam empat hari.
Membludaknya pengunjung di tempat wisata usai viral serta masalah kerusakannya, juga destinasi lainnya mengalami. Sebut saja 98 ton sampah berserakan di Masjid Agung Al Jabbar-Bandung sejak 2 bulan peresmiannya, rusaknya taman bunga karena terinjak-injak wisatawan yang membludak di Amaryllis Garden-Yogyakarta, polusi akibat kendaraan ribuan pengunjung di ‘Negeri di Atas Awan’ Banten, hingga banyaknya sampah plastik di Ranu Manduro di Mojokerto.
Mengapa Kerap Terjadi?
Meski tidak terjadi pada semua tempat wisata, isu ini menjadi hal yang terus berulang setiap ada gelombang wisatawan yang datang ke tempat wisata viral di media sosial. Pakar wisata Universitas Jenderal Soedirman, Chusmeru, turut menanggapi isu sampah dan kerusakan di tempat wisata sebagai sebuah isu yang krusial.
Menurut Chusmeru, bentuk gangguan yang terjadi di tempat wisata juga bisa terjadi karena vandalisme oleh wisatawan yang tidak menghargai nilai-nilai keindahan, sejarah, dan budaya tempat wisata. Padahal, tempat wisata yang kotor ini bertentangan dengan Sapta Pesona terkait kebersihan dan keindahan, juga prinsip Cleanliness, Health, Safety, dan Environment Sustainability (CHSE) yang berkaitan dengan kenyamanan tempat wisata.
“Patut dipertanyakan juga, kenapa wisatawan sampe membuang sampah sembarangan di objek wisata?” tambahnya.
Chusmeru menilai bahwa objek wisata baru biasanya masih mengabaikan fasilitas tempat sampah. Selain itu, kerusakan dan membludaknya sampah juga bisa terjadi karena ketidakseimbangan jumlah pengunjung dan daya tampung tempat wisata.
Apa yang Harus Dilakukan?
Menurut Chusmeru, permasalahan ini merupakan tanggung jawab bersama, yaitu pemerintah, pengelola, masyarakat, dan wisatawan. Selain kesadaran dari masyarakat dan wisatawan, ia menyarankan agar tempat wisata punya SOP yang mengacu pada aspek keberlanjutan ekosistem beserta fasilitasnya.
Melakukan hal ini agar pengelola juga bisa turut mengedukasi wisatawan. Seperti, dengan menyediakan tempat sampah dalam setiap radius tertentu. Selain itu, Ia juga menyarankan adanya audit rutin dari pemerintah dan pengujian sertifikasi tempat wisata supaya tempat wisata bisa dipaksa mengikut aturan keberlanjutan yang ditetapkan. Sementara itu, meski dalam momen tertentu rusak atau tercemar, viralnya tempat wisata bisa membantu mengangkat pariwisata suatu destinasi. Salah satunya, dampak lain dari viralnya rumah Pak Jajang.
“Ada dampak positif dengan viralnya rumah Abah Jajang. Wisata Citambur jadi ikut terangkat, dan kunjungan meningkat. Sekarang untuk weekend ada lebih dari 100 orang pengunjung yang datang,” kata Ketua Kompepar Curug Citambur, Yuceu, pada Minggu, (2/4).