Jumat, 4 Juli 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Kenapa Tuyul Tak Mencuri Uang di Bank? Ini Penjelasannya!

Kenapa tuyul tidak mencuri uang di bank? Pertanyaan ini mungkin pernah terlintas dalam pikiranmu. Tuyul, dalam narasi masyarakat, terkenal sebagai entitas halus yang seringkali terlibat dalam kegiatan mencuri uang. Suwardi Endraswara, seorang budayawan, dalam bukunya “Dunia Hantu Orang Jawa” (2004), menggambarkan tuyul melakukan tindakan tersebut dengan menyusuri rumah ke rumah.

Aktivitasnya tidak terbatas pada pencurian uang saja, melainkan juga melibatkan pencurian barang dan surat-surat berharga. Umumnya, tindakan ini dilakukan oleh individu yang terobsesi dengan kekayaan. Namun, muncul pertanyaan, mengapa tuyul hanya terlibat dalam pencurian rumah ke rumah? Apakah mungkin tuyul dapat mencuri dari bank yang menyimpan jumlah uang yang besar? Atau minimal, apakah tuyul dapat mencuri saldo e-money?

Hingga saat ini, tidak ada laporan mengenai kehilangan uang oleh bank akibat tindakan pencurian oleh makhluk halus berwujud anak kecil ini. Di internet, beredar berbagai informasi yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Beberapa menyatakan bahwa tuyul takut pada logam karena uang di bank disimpan dalam brankas. Sementara itu, ada yang berpendapat bahwa di bank terdapat “penjaga” berupa entitas halus lain yang menjadi momok bagi tuyul.

Meskipun jawaban-jawaban tersebut hanya sebatas spekulasi tanpa dasar logis yang jelas, satu hal yang pasti, terdapat alasan sains di balik cerita mistis tuyul. Alasan tersebut dapat membahas mengapa tuyul tidak terlibat dalam pencurian uang dari bank atau mengambil saldo e-money seseorang.

Kenapa Tuyul Tak Mencuri Uang di Bank? Ini Penjelasannya!

Untuk memahami penjelasannya, kita harus memundurkan waktu ke tahun 1870. Kala itu, Belanda meresmikan kebijakan pintu terbuka atau liberalisasi ekonomi menggantikan sistem tanam paksa. Sekilas perubahan ini membawa angin segar karena ternilai mampu menyejahterakan masyarakat. Namun, kenyataannya tidak.

Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), liberalisasi ekonomi justru melahirkan rezim kolonial baru yang di dalamnya terjadi pengambilalihan perkebunan rakyat untuk diubah menjadi perkebunan besar dan pabrik gula. Situasi ini kemudian membuat kehidupan masyarakat terpuruk, khususnya para petani kecil di Jawa yang semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Sebab, mereka tak lagi memiliki kuasa atas lahan perkebunan.

Pada sisi lain ada juga masyarakat yang sejahtera dari sistem ini. Mereka adalah pedagang, baik dari kalangan pribumi atau Tionghoa, yang dalam sekejap menjadi orang kaya baru. Kenaikan pesat kekayaan mereka lantas menimbulkan keheranan bagi para petani yang kian melarat itu. Para petani bingung darimana asal-usul kekayaan mereka.

Perlu kita ketahui saat itu para petani hidup apa adanya. Menurut Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang Negeri Yang Guncang (2019), mereka menganut sistem subsisten. Artinya, bertani sekedar cukup untuk konsumsi sendiri. Jika ada hasil tani lebih, maka akan diberi sebagai upeti atau dijual.

Akibatnya, mereka punya pandangan kalau pemupukan kekayaan adalah proses yang terbuka. Maksudnya, tiap orang harus melewati proses dan usaha jelas yang dapat terlihat oleh mata orang lain. Masalahnya, mereka tidak melihat kerja keras dari orang kaya baru itu. Terlebih mereka tidak dapat membuktikan asal usul kekayaannya jika ditanya para petani. Alhasil timbul rasa iri dan kecemburuan oleh petani ke pedagang karena bisa mendapat harta sebanyak itu.

Pandangan Lain tentang Mitos Kaya Mendadak

Terlebih, menurut George Quinn dalam “An Excursion to Java’s Get Rich Quck Tree” (2009)”, para petani selalu beranggapan datangnya kekayaan harus mempertanggungjawabkannya. Maka ketika orang kaya gagal mempertanggungjawabkan asal kekayaannya, para petani iri dan menuduh uang itu hasil pencurian.

Karena kental dengan pandangan mistik, para petani memandang pencurian itu berkat kerja sama orang kaya dengan makhluk supranatural dan kasat mata. Salah satunya tuyul. Tuyul adalah sosok mitologi Jawa yang sudah terkenal sejak lama. Bentuknya makhluk halus atau hantu berbadan kecil dan botak yang dapat mereka pelihara.

Jadi, para petani yang iri selalu menuduh orang kaya baru menggunakan cara haram dalam memperoleh kekayaan. Akibat tuduhan ini, tulis Ong Hok Ham dalam buku lain berjudul Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002), membuat pedagang dan pengusaha sukses kehilangan status di masyarakat. Mereka dianggap “hina” karena memupuk kekayaan dari cara haram yakni bersekutu dengan setan. Padahal ini semua terjadi akibat perubahan kebijakan kolonial Belanda yang membuat pengusaha tertimpa durian runtuh.

Ketidaksukaan para petani terhadap orang yang kaya mendadak tidak hanya berdampak pada hubungan personal semata, melainkan lebih dari itu. Akibatnya, terjadi perubahan transaksi barang oleh orang kaya. Orang kaya kemudian cenderung membeli barang yang tidak menunjukkan kekayaan mereka sesungguhnya, seperti emas atau barang-barang mewah. Apabila mereka membeli tanah atau rumah, maka mereka akan tertuduh memelihara setan atau tuyul oleh petani.

Tuduhan tak berdasar ini membuat popularitas tokoh tuyul sebagai subjek mistis dalam hal kekayaan semakin meningkat dan terus populer sampai saat ini di Indonesia. Terlebih, masyarakat Indonesia yang selama bertahun-tahun hidup secara agraris, makin melanggengkan imajinasi dan tuduhan menggunakan tuyul.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles