Mengenal konsep toxic femininity ini penting untuk kita tahu dan bagaimana dampaknya bagi perempuan. Pernahkah kamu, sebagai seorang perempuan, merasa terhakimi karena kurang feminin? Atau mungkin, kamu sendiri pernah menghakimi sesama perempuan karena mereka teranggap tidak cukup feminin?
Jika kamu mengalami salah satu dari dua situasi tersebut, mungkin sedang berada dalam kondisi toxic femininity. Apa sebenarnya toxic femininity ini? Mari kita simak penjelasannya berdasarkan informasi dari laman Healthline!
Mengenal Konsep Toxic Femininity dan Dampaknya
Pengertian Toxic Femininity

Jika kamu tidak asing dengan konsep toxic masculinity, maka konsepnya kurang lebih sama dengan toxic femininity. Menurut seorang terapis, Meaghan Rice, toxic femininity dipahami sebagai istilah untuk menjelaskan kondisi ketika perempuan dituntut untuk menyesuaikan stereotip tradisional.
Toxic femininity biasanya terjadi secara tidak sadar sebagai upaya untuk dapat diterima di budaya masyarakat patriarki. Contoh nyatanya adalah ketika kamu dipaksa untuk memiliki anak karena dianggap sudah kodratnya, atau saat kamu dikritik karena kurang memenuhi standar kecantikan yang ada (kurang putih, bertubuh gemuk, atau memiliki banyak rambut di bagian tubuh tertentu).
Intinya, femininitas ini akan menjadi toksik jika kamu terpaksa melakukan hal-hal tersebut demi memenuhi ekspektasi orang lain dan harus memendam keinginan pribadi.
Dampak Toxic Femininity

Menurut Monica Vermani, seorang psikolog klinis, toxic femininity menciptakan konsep keperempuanan yang kaku dan serba “membatasi”. Toxic femininity tidak hanya merugikan perempuan, namun juga gender lainnya karena konsep ini secara tidak langsung memberikan ekspektasi dan membebani mereka.
Adapun dampak yang timbul dari toxic femininity, yaitu:
- Menurut Saba Harouni Lurie, pemilik dari Take Root Therapy, toxic femininity memberikan standar kecantikan yang tidak realistis dan dapat menjadi penyebab dari gangguan body dysmorphia dan eating disorder.
- Stres berlebih karena perempuan dituntut memenuhi ekspektasi dalam merawat keluarga, pekerjaan rumah, dan pekerjaan kantor jika mereka bekerja
- Cemas, depresi, dan merasa terisolasi
- Tidak mampu membuat batasan, menghindari konfrontasi, dan merasa harus menyenangkan orang lain
- Dapat menyebabkan ketergantungan dalam konteks hubungan romantis
Cara Mengatasi Toxic Femininity

Jika hal tersebut terjadi pada diri sendiri:
- Cari tahu dari mana kepercayaan tersebut muncul.
Baik itu dari media sosial, orang tua, atau teman, kamu dapat mengerti asal mula konsep toxic femininity agar tidak terus menerus terpapar dan mempercayainya. - Cari tahu motivasi atas hal yang kamu lakukan
. Apakah selama ini kamu merasa dituntut untuk berlaku sebagai seorang perempuan? Atau kamu dengan sukarela mau melakukan hal-hal tersebut? - Belajar memvalidasi diri sendiri.
Perempuan kerap kali harus menekan perasaan atau meminimalisir pengalamannya untuk menyenangkan pria. Maka dari itu, kamu dapat memberi afirmasi positif pada diri sendiri bahwa setiap perasaan dan tindakanmu valid. - Membuat batasan diri sendiri.
 Kamu perlu membuat batasan dengan orang yang kerap kali menuntutmu untuk memenuhi ekspektasinya. Dengan begitu, kamu dapat lebih menghargai diri sendiri.
Jika hal tersebut terjadi pada orang lain:
- Ajak orang tersebut berbicara baik-baik.
Daripada menyerang mereka, lebih baik ajak berdiskusi untuk memahami sisi pandang mereka tentang toxic femininity. - Tanyakan orang tersebut apakah hal yang dilakukan sesuai dengan minat mereka.
 Jika kamu merasa toxic femininity mempengaruhi hidup seseorang, tanyakan apakah mereka benar-benar menyukai apa yang mereka lakukan. - Tunjukkan apresiasi terhadap mereka.
Tetap hargai segala pilihan dan keputusan mereka, terlebih lagi jika hal tersebut tidak sejalan dengan ekspektasi gender.
Semoga ke depannya kamu dapat terhindar dari segala bentuk toxic femininity, ya!