Stop normalisasi merekam orang lain tanpa izin demi konten karena bisa kena pidana berat. Di tengah tren postingan tentang kemewahan atau flexing, konten yang mengangkat tema kesedihan dan kesulitan hidup justru menarik banyak perhatian. Konten bertema humanis ini memiliki sisi positif, seperti mengajak netizen untuk lebih bersyukur dan bersimpati kepada sesama. Namun, masalah muncul ketika pengunggah konten tersebut melanggar hukum atau privasi demi mendapatkan perhatian.
Contohnya, baru-baru ini viral di X, seorang pengguna mengunggah foto kue tart berwarna hijau. Dalam unggahannya, dia menceritakan bahwa kue tersebut oleh seorang OB bawa untuk dibagikan kepada karyawan di sebuah kantor, namun tidak ada yang mengambilnya setelah beberapa jam. Unggahan ini memicu banyak komentar simpati dari netizen yang merasa prihatin.
Namun, di balik popularitas unggahan tersebut, terdapat pelanggaran hukum dan privasi yang dilakukan oleh pengunggah. Apa yang salah dari tindakan ini dan bagaimana seharusnya kita bersikap dalam situasi semacam ini? Berikut penjelasannya.
Stop Normalisasi Merekam Orang Lain Tanpa Izin Demi Konten!
Fakta di Balik Unggahan Kue Hijau
Setelah unggahan “kue hijau” viral, sebuah akun lain akhirnya speak up di media sosial. Dia menegaskan bahwa postingan itu hoax. Netizen yang speak up itu mengaku sebagai anak dari karyawan yang membawa kue itu ke kantor. Dia pun menegaskan bahwa ibunya, yang sekantor dengan netizen yang mengunggah pertama kali, tidak berprofesi sebagai OB.
“Jadi ini adalah cake ultah mama n papa ku yang hanya berbeda sehari tanggalnya. FYI aku kenal dengan pemilik akun tersebut. Aku mau bilang aja kalau ortuku tidak ada yang bekerja sebagai OB, lalu kenapa dengan OB?” tulis akun itu.
“Mamaku kerja di sana posisi bagus kok guys, malah terbilang yang diandalkan oleh bos. Papaku driver yang alhamdulillah dulu kerja pakai mobil perusahaan sekarang udah pakai mobil pribadi,” lanjutnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, netizen pun diberi tahu bahwa unggahan humanis maupun inspiratif yang beredar di dunia maya ternyata tak selamanya sesuai dengan kenyataan. Terlebih, selama ini masyarakat sering melihat postingan yang diambil secara diam-diam tanpa izin yang bersangkutan dan kemudian menguggahnya ke media sosial.
Kenapa Merekam dan Menyebarluaskan Tanpa Izin Harus Dihentikan?
Aksi merekam dan menyebarluaskan konten tanpa izin sebenarnya bukan masalah baru di dunia digital. Misalnya pada tahun 2014, melansir laman iPleaders, beredar foto vulgar para selebritis Hollywood yang dibajak dari cloud ponsel mereka. Kini, dengan semakin pesatnya perkembangan digital, kasus ini semakin berkembang dan rumit.
Padahal, di sini lain, merekam dan menyebarluaskan konten orang lain tanpa izin merupakan tindakan yang sangat berisiko dan melanggar banyak aspek hukum serta etika. Berikut beberapa alasan kenapa masyarakat harus mulai menghentikan tindakan ini:
- Pelanggaran Privasi: Merekam seseorang tanpa izin dan menyebarluaskannya dapat dianggap sebagai pelanggaran hak privasi. Tindakan ini bisa menyebabkan perasaan tidak nyaman, malu, atau bahkan trauma bagi orang yang direkam.
- Pencemaran Nama Baik: Menyebarkan rekaman seseorang tanpa persetujuan bisa menyebabkan kerusakan reputasi dan nama baik individu tersebut jika di dalamnya berisi informasi atau situasi yang sensitif atau merugikan.
- Masalah Hak Cipta: Jika rekaman berisi materi yang dilindungi hak cipta seperti musik, video, atau karya seni lainnya, maka penyebaran tanpa izin bisa menyebabkan masalah hukum serius.
- Dampak Sosial dan Psikologis: Orang yang direkam tanpa izin mungkin mengalami stres, kecemasan, dan gangguan psikologis lainnya akibat tindakan tersebut. Penyebaran konten mungkin memicu bullying online atau pelecehan yang akan memperburuk kondisi mental individu.
- Kerugian Finansial: Individu atau perusahaan yang jadi korban bisa mengalami kerugian finansial, baik melalui biaya hukum untuk melindungi hak mereka maupun kerugian bisnis akibat pencemaran nama baik.
- Pelanggaran Hukum: Di banyak negara, merekam seseorang tanpa izin dan menyebarluaskan rekaman tersebut merupakan pelanggaran hukum yang dapat berujung pada denda atau hukuman penjara.
Sedihnya, semakin banyak orang yang menormalisasi tindakan ini dan merasa wajar untuk merekam orang lain tanpa izin. Tidak heran jika media sosial saat ini dipenuhi konten hoaks yang dibuat hanya untuk meraih popularitas dan keuntungan pihak tertentu.
Ancaman Pidana yang Berlaku
Walaupun terlihat sepele, namun penyebaran konten seperti pada kasus “kue hijau” ternyata bisa membawa pelaku pada pasal berlapis. Melansir Detikcom, siapa pun yang mengunggah konten tanpa izin bisa terjerat UU ITE Pasal 27 ayat 1, dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara.
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun,” bunyi pasal tersebut.
Sementara itu, dalam kasus “kue hijau” jika diperkarakan secara hukum, ada pasal lain yang bisa menjerat yaitu soal penyebaran berita hoax dan mengandung unsur pencemaran nama baik. Berdasarkan UU ITE Pasal 45 ayat (1) dan (3), melansir CNN Indonesia, maka hukuman yang dikenakan maksimal 6 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Dengan kata lain, merekam dan menyebarkan konten orang lain tanpa izin adalah tindakan yang tidak etis dan melanggar hukum. Penting untuk selalu meminta izin dan menghormati privasi orang lain sebelum merekam atau menyebarluaskan konten apapun. Jadi, setop normalisasi dan mulai bijak dalam menggunakan media sosial!