Alasan Dandhy Laksono buat dokumenter Dirty Vote ini menarik untuk kita ketahui. Dirty Vote ramai menjadi perbincangan masyarakat hingga para tokoh politik saat ini. Film dokumenter yang dirilis Minggu (11/2) itu mengulas perjalanan menuju Pemilu 2024 serta dugaan kecurangan yang terjadi di dalamnya.
Film garapan sutradara Dandhy Dwi Laksono itu menampilkan tiga ahli tata hukum negara; Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti untuk membeberkan serta menjelaskan semua itu. Dandhy mengungkapkan hal-hal yang membuatnya tertarik buat Dirty Vote, salah satunya adalah situasi jelang Pemilu 2024.
Alasan Dandhy Laksono Buat Dokumenter Dirty Vote
“Jadi, aku ke-trigger dengan beberapa informasi tentang kasus kecurangan Pemilu yang berseliweran di media sosial. Ke-trigger juga dengan beberapa podcast Bang Feri Amsari yang sedang bikin project tentang peta kecurangan Pemilu,” kata Dandhy melansir dari CNNIndonesia.com, Senin (12/2).
“Jadi, ku lihat beberapa temuan dan buktinya. Masih tidak ada kontak sama sekali, aku masih mengamati saja bagaimana cerita-cerita soal kecurangan ini. Apakah ada benang merahnya satu dengan yang lain atau cuma random?” tuturnya.
Salah satu yang turut ia soroti dan tertuang dalam dokumenter itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi atas batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (cawapres). MK mengabulkan gugatan terkait syarat pendaftaran capres-cawapres yang harus berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Melalui putusan itu, MK membuat syarat pendaftaran sebagai capres-cawapres dapat dipenuhi apabila yang bersangkutan pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah meski belum mencapai batas usia paling rendah yakni 40 tahun. Putusan tersebut kemudian menjadi landasan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang berusia 36 tahun bisa maju sebagai cawapres untuk mendampingi Prabowo Subianto.
“Tentu setelah putusan MK, kita jadi lebih alert dengan kasus yang sebesar itu. Sehari kita lihat banyak cerita, tetapi kita kehilangan fokus karena berserakan dan ketiban dengan tsunami informasi yang lain,” ucap Dandhy.
“Kita juga lebih terdistraksi dengan gimik yang dibikin para politikus. Trigger itu yang bikin aku kemudian, oke aku akan angkat tentang itu.”
Hingga akhirnya, ia memutuskan garap film itu. Dirty Vote pun hanya membutuhkan persiapan sekitar satu bula. Sebelum akhirnya rilis ke saluran YouTube PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) Indonesia pada 11 Februari.
Dokumenter Dirty Vote di Mata Para TKN
Sementara itu, Habiburokhman selaku Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebelumnya buka suara mengenai Dirty Vote. Ia menilai dokumenter itu merupakan film berisi fitnah. Dia mempertanyakan kebenaran pakar-pakar hukum yang hadir di film itu. Habib juga menyangsikan dugaan kecurangan yang diarahkan ke Prabowo-Gibran.
“Sebagian besar yang tersampaikan dalam film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang sangat asumtif, dan sangat tidak ilmiah,” kata Habib dalam jumpa pers di Media Center Prabowo-Gibran, Jakarta, Minggu (11/2).
Wakil Ketua Komisi III DPR itu menyebut film Dirty Vote sengaja untuk mendegradasi penyelenggaraan Pemilu 2024. Dia menilai tuduhan-tuduhan yang disampaikan dalam film tersebut tak berdasar. Habiburokhman juga sudah merespons terkait penerimaan pendaftaran serta penetapan Gibran sebagai calon wakil presiden, menyusul putusan DKPP yang menyatakan anggota dan ketua KPU melanggar etik.
Dia mengatakan putusan DKPP tidak final sesuai ketentuan Pasal 458 Undang-undang Pemilu. Putusan DKPP juga bisa digugat ke PTUN berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 32/PUU-XIX/2021.
“Putusan DKPP ini tidak menyebut pendaftaran Prabowo-Gibran menjadi tidak sah. Menurut apa yang kami baca barusan dari putusan DKPP ini, putusan terkait persoalan teknis. Saya garis bawahi, teknis pendaftaran,” kata Habiburokhman.
“Intinya berdasarkan konstitusi pasangan Prabowo-Gibran tetap terdaftar. Justru kalau tidak diberikan kesempatan kemarin Prabowo-Gibran untuk mendaftar, maka bisa saja bahwa itu melanggar hak konstitusi. Dan bisa saja terkena hukuman berat kalau menolak pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran,” ujarnya.
Dirty Vote menampilkan tiga pakar hukum tata negara membedah dugaan kecurangan Pemilu 2024. Penceritaan berawal dengan menampilkan ucapan Presiden Jokowi mengenai anak-anaknya yang tak tertarik terjun ke dunia politik beberapa tahun lalu dan pada akhirnya jelas berubah saat ini.
Dirty Vote juga menampilkan dugaan ketidaknetralan para pejabat publik, wewenang dan potensi kecurangan kepala desa, anggaran dan penyaluran bansos, penggunaan fasilitas publik, hingga lembaga-lembaga negara yang melakukan pelanggaran etik.