Tren “quiet quitting” saat ini menjadi topik hangat di kalangan warganet, terutama di kalangan pekerja muda. Istilah baru ini mencerminkan prinsip bekerja dengan seimbang, tanpa terlalu berlebihan atau melampaui batas yang sehat.
Quiet quitting, seperti yang dilansir oleh Healthline, dapat berfungsi sebagai langkah pencegahan terhadap overwork atau kelelahan berlebihan akibat persaingan yang tidak sehat di lingkungan kerja. Hal ini membantu pekerja untuk menjaga keseimbangan fisik dan mental mereka. Sebagai contoh, seseorang yang menerapkan prinsip quiet quitting akan berusaha menyelesaikan pekerjaan tepat waktu setiap hari, memberikan diri waktu istirahat makan siang, atau menolak proyek yang tidak relevan dengan tanggung jawab pekerjaannya.
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan quiet quitting, dan apakah benar-benar bermanfaat untuk kesehatan mental pekerja? Mari kita cermati penjelasannya berikut ini, yang kami rangkum dari berbagai sumber terkait.
Apa itu Quiet Quitting?
Dikutip dari Very Well Mind, Paula Allen sebagai Pemimpin Global dan Wakil Presiden Senior Riset dan Kesejahteraan Total di LifeWorks, mengungkapkan hal-hal yang menandakan quiet quitting:
- Mengatakan tidak untuk tugas di luar deskripsi pekerjaan.
- Tidak membalas email atau pesan di luar waktu bekerja.
- Pulang kerja tepat waktu.
- Tidak ada lagi pencapaian yang berlebihan.
- Bekerja secara profesional.
- Berkurangnya minat untuk bekerja secara berlebihan (overwork)
Dalam beberapa hal, quiet quitting mirip dengan gagasan bekerja seminimal mungkin. Contohnya tidak bekerja lembur, tidak memeriksa email selama akhir pekan, atau tidak melakukan tugas tambahan.
Mengapa Orang-orang Quiet Quitting?
Ada banyak alasan mengapa orang-orang mengikuti tren quiet quitting. Melansir dari Very Well Mind, salah satu alasan utamanya adalah untuk mendapatkan kembali keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi. Sebelumnya, banyak pekerja yang memilih bekerja secara berlebihan demi mengejar karier agar kinerja kerja semakin diakui. Namun, tidak dapat dipungkiri hal tersebut dapat menyebabkan fisik dan mental menjadi lebih lelah.
Quiet quitting bisa dijadikan strategi untuk melindungi diri kita dari kerja berlebihan dan kelelahan. Jika terjebak dengan banyak pekerjaan, kamu akan kesulitan untuk meluangkan waktu bersantai, merawat diri, bertemu keluarga dan teman, berolahraga serta kegiatan lainnya. Dikutip dari Healthline, dengan menerapkan quiet quitting dapat memberdayakan pekerja untuk memiliki waktu berkualitas, menciptakan ruang untuk refleksi serta meningkatkan produktivitas.
Menjaga Kesehatan Mental
Dilansir dari Shape, tren quiet quitting semakin diikuti oleh karyawan perusahaan sejak pandemi Covid-19 yang mengharuskan work from home. Quiet quitting mungkin bisa menjadi solusi untuk mencegah beban kerja yang tidak adil atau tidak sesuai jobdesk. Namun, tren ini hanya bersifat sementara untuk masalah yang jauh lebih besar. Dikutip dari Very Well Mind, Paula Allen menegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan bekerja keras, terutama jika seseorang bekerja untuk mencapai karier atau promosi jabatan impian. Sebab manusia perlu memiliki rasa pencapaian untuk mendukung kesejahteraan mental. Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana usaha kita untuk menemukan keseimbangan kerja dan kehidupan yang baik.
Dengan menerapkan batasan sendiri di tempat kerja, maka hati akan terasa tenang dan damai hati. Prinsip quiet quitting atau kerja sewajarnya ini menciptakan kebiasaan bekerja secara optimal sesuai tanggung jawab dan jam, dan tidak terlalu pusing tentang jenjang karir. Perlu diingat, setiap orang memiliki cara tersendiri dalam melakukan quiet quitting, karena tugas dan pekerjaan yang pasti berbeda-beda.