Identitas Buku
Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit: Cetakan Kedua, Desember 2017
Jumlah Halaman: x + 379 halaman
Sinopsis
Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.
Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu Sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.
Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.
Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.
Review
Seperti judulnya, Laut Bercerita ternyata benar-benar Laut yang bercerita. Tokoh utama novel ini bernama Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris di Yogyakarta yang turut bergabung dengan Winatra, organisasi mahasiswa yang memihak pada kaum kecil seperti buruh dan petani. Dengan segala kegiatannya yang dianggap menentang pemerintahan kala itu, Laut bersama teman-teman se-Winatra dan Wirasena (induk Winatra) harus hidup dalam persembunyian. Terlebih setelah Winatra dianggap sering menjadi dalang kerusuhan, salah satunya peristiwa Sabtu Kelabu (kerusuhan di kantor DPP PDI Jalan Diponegoro). Tak hanya itu, pemerintah juga secara terang-terangan memasukkan aktivis Winatra dan Wirasena sebagai buron.
Cerita di buku ini memang fiksi, tapi rasanya hidup dalam kejaran aparat itu nyata. Dalam bab Biru Laut, kita diajarkan tentang perjuangan dan pengkhianatan. Iya. Pas momen orang yang dipercaya ternyata menjadi ‘antek’ aparat, itu kok rasanya sakit ya. Sedih. Tapi emosi justru memuncak di bab Asmara Jati, yang mengajarkan kita tentang kehilangan dan juga penyangkalan. Bagaimana orangtua Biru Laut masih berada dalam ‘kepompong’ yang mereka buat sendiri, menyangkal bahwa anaknya sudah tidak ada dengan terus menerus menyiapkan piring untuk Laut saat makan bersama. Bagaimana Asmara Jati, sang adik, mencoba untuk mengajak kedua orangtuanya ‘keluar dari kepompong’ dan menghadapi kenyataan yang ada, bahwa Mas Laut hilang dan tak akan pernah kembali. Di bab ini, saya lebih banyak menghabiskan tissue untuk menyeka air mata. Karena momen penyangkalan dan kehilangannya terasa sangat nyata.
Kamu juga bisa menonton film Laut Bercerita lho!