Pandangan umum bahwa “Joy Ride” adalah sekadar film komedi yang mengandalkan naskah nakal dan vulgar langsung terbantah saat kita mulai menontonnya. Film ini sukses menggabungkan elemen-elemen yang berani, lucu, dan bahkan sedikit menyentuh dalam durasi 95 menitnya.
“Joy Ride” benar-benar merupakan tontonan yang sangat menghibur dan cocok untuk menghilangkan kepenatan. Penting untuk dicatat bahwa film ini hanya ditujukan bagi penonton dewasa, dengan batasan usia minimal 21 tahun.
Sejak awal hingga akhir, film ini tidak pernah berhenti dalam menampilkan dialog dan adegan yang kadang vulgar, konten seksual, penggunaan narkotika, situasi diskriminatif, serta unsur-unsur rasial yang mendalam. Oleh karena itu, perlu diingatkan bahwa “Joy Ride,” yang dibintangi oleh Ashley Park, Stephanie Hsu, Sherry Cola, dan Sabrina Wu, memang ditujukan khusus untuk penonton dewasa.
Sekilas, kegilaan dalam Joy Ride mungkin mengingatkan dengan The Hangover. Namun, film dengan tiga perempuan dan satu non biner sebagai pemeran utamanya itu tak hanya menyajikan aksi di luar nalar mereka.
Film debut salah satu penulis Crazy Rich Asians Adele Lim sebagai sutradara dengan cerita yang ia buat bersama dua penulis sitkom, Cherry Chevapravatdumrong dan Teresa Hsiao, pada dasarnya mengkritik Asian hate yang marak di AS. Begitu juga dengan pandangan banyak warga negara adidaya terhadap negara-negara berkembang yang kerap ditemukan di dunia nyata maupun dunia maya.
Namun, hal itu bukan berarti membuat penonton, terutama yang di Indonesia, sulit terhubung dengan ceritanya. Permasalahan utama yang dihadapi orang Asia, terutama China dan keturunannya begitu disoroti Joy Ride.
Tanpa buang-buang waktu, stigma-stigma negatif hingga rasisme yang dihadapi orang Asia, terutama perempuan, dikuliti dalam film ini. Mulai dari lingkup paling kecil, seperti keluarga, pertemanan, dunia kerja, bahkan pribadi yang tanpa sadar merendahkan ras sendiri yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di Indonesia, ada dalam Joy Ride.
Hal-hal yang mungkin selama ini juga dianggap tabu karena “budaya ketimuran” disinggung dengan penuh keberanian tiga perempuan di belakang layar. Pesannya pun sampai kepada penonton, tanpa meleset, berkat chemistry empat pemeran utamanya.
Selain permasalahan rasial dan perempuan sebagai objek, Joy Ride juga membahas situasi seseorang kehilangan jati dirinya karena terlalu mencoba fit in di tengah masyarakat dengan cara apa pun.
Meski menyenangkan, film ini memiliki beberapa catatan, seperti ada adegan lucu ditaruh begitu saja seperti tanpa ada korelasi dengan yang lain karena sekadar ingin memancing tawa penonton. Permasalahan dalam babak ketiga yang menyinggung soal keluarga dan persahabatan juga mudah ditebak dan berjalan begitu cepat untuk menutup film tersebut. Hal itu yang kemudian seperti ‘menurunkan’ kesenangan yang telah dibangun di awal dan pertengahan film ini.
Meski tak diakhiri dengan begitu rapi, Joy Ride berhasil mengkritik banyak masalah dan menyentuh women empowerment di balik percakapan dan adegan cabulnya yang tak berlebihan. Penyampaian kritik lewat guyonan yang berhasil mengocok perut pun tepat sasaran. Adegan musikal di tengah babak pun bisa dibilang jadi peak comedy film ini. Sehingga, Joy Ride merupakan film yang sayang dilewatkan penonton dewasa jika menginginkan tontonan menyenangkan.