Hai, Sobat Riang! Apakah kalian sering kali menikmati kerupuk rambak, atau lebih dikenal sebagai kerupuk kulit? Bagi masyarakat Indonesia, kerupuk telah menjadi hidangan yang tak hanya menjadi camilan nikmat, tetapi juga pendamping sempurna untuk santapan nasi.
Proses pembuatan kerupuk melibatkan penciptaan adonan yang kemudian dicetak dan dikeringkan hingga semua kandungan air terhapus, lalu digoreng dalam minyak panas hingga kembang dan menjadi garing. Kelezatan tekstur kriuk dan renyahnya mampu membangkitkan selera makan siapa pun. Di Nusantara, kerupuk hadir dalam beragam jenis, dan salah satu di antaranya adalah kerupuk rambak.
Kerupuk rambak, atau sering disebut juga kerupuk kulit, memiliki tampilan yang khas dengan warna cokelat keruh yang mungkin kurang menggugah selera pada pandangan pertama. Namun, keunikannya terletak pada sensasi yang muncul saat dinikmati, yakni rasa gurih asin dengan tekstur yang leleh di mulut. Keharuman ini membedakannya dari jenis kerupuk lainnya. Bahan baku pembuatannya juga unik, diambil dari kulit sapi atau kerbau. Proses pembuatan kerupuk rambak tidaklah mudah, melibatkan serangkaian tahapan yang memakan waktu berjam-jam. Setelah dibersihkan dan diiris, kulit melalui proses pengapuran, yakni direndam dalam larutan kapur sirih untuk menghilangkan lapisan epidermis atau rontokan bulu yang menempel pada kulit.
Tahap pengapuran dapat berlangsung hingga empat hari atau lebih. Semakin lama direndam, semakin baik hasilnya. Setelahnya, kulit akan dicuci kembali untuk menghilangkan residu air kapur. Kemudian, kulit direbus selama 15 menit sebelum ditiriskan, dikikis dengan pisau tumpul, dipotong kotak, dan direbus lagi selama dua jam hingga matang dan empuk. Setelah dimatangkan, kulit didinginkan, direndam dalam bumbu seperti bawang putih, gula, dan garam, lalu dijemur selama 2-3 hari hingga mengering. Setelah dipastikan kering, barulah kerupuk rambak siap digoreng.
Sejarah mencatat bahwa kerupuk rambak telah ada sejak abad ke-9 atau ke-10. Prasasti Batu Pura dari Jawa menjadi bukti akan keberadaannya. Lantaran telah ada sejak lama, banyak yang percaya bahwa kerupuk rambak adalah cikal bakal atau pelopor dari berbagai jenis kerupuk khas Indonesia lainnya. Konon, dahulu kerupuk ini menjadi hidangan favorit para priayi atau bangsawan Jawa. Namun, kerupuk rambak hanya bisa dinikmati oleh kalangan bangsawan, mengingat sulitnya mendapatkan kulit kerbau atau sapi. Hanya mereka yang mampu membelinya karena harganya yang relatif mahal. Warga biasa saat itu mengonsumsi kerupuk dari bahan tepung singkong karena harganya yang lebih terjangkau.
Kerupuk rambak sejatinya menjadi akar dari beragam jenis kerupuk, seperti kerupuk dorokdok dari Garut dan kerupuk jangek dari Minangkabau. Keduanya diduga merupakan turunan dari kerupuk rambak. Di Pulau Jawa, kerupuk rambak kerap diolah menjadi hidangan seperti sambal krecek atau sebagai pendamping hidangan berkuah seperti soto ayam, rawon, dan sayur lodeh. Di Pulau Sumatera, kerupuk ini menjadi lauk dalam hidangan sate Padang dan nasi Padang, serta disajikan dengan kuah gulai atau kalio pada restoran Padang. Dengan sejarahnya yang kaya, kerupuk rambak telah merajut kisah panjang dalam warisan kuliner Indonesia.