Benarkah seragam Hogwarts terinspirasi dari jubah mahasiswa di Portugal? Sudah lebih dari 25 tahun sejak novel pertama Harry Potter terbit, tetapi kisah penyihir cilik ini masih tetap membekas di hati banyak penggemarnya di seluruh dunia.
Para Potterhead, sebutan untuk penggemar berat Harry Potter, yang dulunya mungkin kesulitan untuk menghidupi hobinya. Kini telah dewasa dan bebas menjelajahi jejak-jejak dunia sihir karya J.K. Rowling. Mulai dari mengunjungi Wizarding World Harry Potter di Jepang dan Amerika Serikat. Hingga mampir ke Peron 9 3/4 di Stasiun King’s Cross London yang menjadi lokasi syuting film Harry Potter.
Namun, ada satu tempat lagi yang penuh dengan nuansa Harry Potter tapi mungkin belum banyak disadari orang, yaitu Porto, kota terbesar kedua dan tertua di Portugal. Beberapa pelancong mengaku terkejut saat mengunjungi Porto karena mereka sering melihat muda-mudi yang berpakaian seperti murid Hogwarts. Bagaimana bisa?
Simak penjelasan selengkapnya di sini!
Benarkah Seragam Hogwarts Terinspirasi dari Jubah di Portugal?
Sejarah Jubah Mahasiswa di Porto
Di serial fantasi Harry Potter, para murid di sekolah sihir Hogwarts mengenakan jubah hitam saat belajar di kelas. Pakaian luar yang tebal dan panjang seperti ini jarang ditemui pada seragam sekolah kebanyakan.
Namun di dunia non-sihir, para mahasiswa di Porto rupanya sudah bertahun-tahun mengenakan jubah sebagai seragam kebanggaan. Mereka pun disebut-sebut sebagai pionir tren dan sumber inspirasi J.K. Rowling ketika memilih pakaian untuk karakter penyihir ciliknya.
Meskipun Rowling tidak pernah secara eksplisit mengungkapkan inspirasinya untuk jubah tersebut, ia diketahui menulis buku pertamanya yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah ketika tinggal di Porto, Portugal pada tahun 1990-an. Pemandu wisata sering kali menyebut tentang mahasiswa berjubah, yang kemungkinan Rowling lihat tengah berjalan dari dan ke kelas masing-masing.
Melansir Mental Floss, tampilan jubah mahasiswa tersebut bermula dari Universitas Coimbra, universitas pertama Portugal yang didirikan pada tahun 1290 di Lisbon. Kala itu, kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan keagamaan sehingga kampus-kampus abad pertengahan dipenuhi oleh para pendeta.
Sebenarnya saat itu tidak ada seragam pelajar, tetapi percampuran laki-laki dari ordo agama yang berbeda memang menghasilkan tampilan yang seragam, yakni setelan pakaian yang gelap. Lama kelamaan, pakaian itu pun dikira sebagai seragam pelajar sipil.
Hingga tahun 1850, mahasiswa Universitas Coimbra yang semuanya laki-laki masih mengenakan jubah selutut di atas celana pendek dan kaus kaki selutut. Jubah panjang menutupi seluruh pakaian, memberikan tampilan yang jelas-jelas klerikal kepada para siswa yang jelas-jelas sipil.
Pada paruh kedua abad ke-19, semangat progresif pada zaman itu menggantikan celana pendek kuno dengan setelan jas tiga potong yang praktis. Terdiri dari jas hitam, rompi, dan celana khusus—hingga lahirlah seragam standar universitas yang disebut traje.
Jubah tua yang kuno itu tampak mulai ketinggalan zaman, namun para mahasiswa merasa terlanjur menyatu dengan tampilan lama sehingga mereka terus memakainya di atas jas baru. Otoritas sekolah membiarkan jubah lama tetap ada, menyapu lantai bebatuan di Coimbra seiring langkah para mahasiswa.
Ketika universitas kedua dan ketiga di Portugal didirikan pada tahun 1911, di kota Lisbon dan Porto, para mahasiswa bergegas untuk mengadopsi kombinasi jas dan jubah yang sama-sama populer.
Sementara itu, anak perempuan baru mendapatkan seragam standar pada tahun 1945, ketika Orfeão Universitário do Porto–sebuah asosiasi mahasiswa di Universitas Porto yang saat itu masih muda–menerima anggota perempuan pertama ke dalam daftarnya. Sebelumnya, perempuan tidak mengenakan pakaian sekolah tertentu, meskipun terkadang mereka disuruh mengenakan pakaian serba hitam agar tidak menonjol.
Anggota Orfeão diharapkan menampilkan nyanyian dan tarian tradisional Portugis dengan seragam lengkap. Para gadis memanfaatkan kesempatan itu untuk mengenakan traje versi alternatif mereka sendiri.
Mereka menemukan inspirasinya dalam kepraktisan seragam militer wanita dan memilih rok trapeze selutut dan jaket kotak tiga kancing. Jubah tersebut, tentu saja, merupakan sentuhan terakhir yang dengan cepat diterapkan di sekolah lain.
Saat ini, terdapat lebih dari 300.000 mahasiswa di Portugal, sebagian besar dari mereka secara rutin mengenakan traje ke kelas. Hal ini tidak lagi bersifat wajib seperti dulu. Namun, jubah ini langgeng karena biasa terpakai untuk acara seremonial seperti pada masa ospek atau yang dikenal praxe dan juga pada saat wisuda.
Mengenakan seragam bersejarah ini berarti merangkul dan menunjukkan identitas seseorang sebagai pelajar—walaupun sering kali disalahartikan sebagai cosplayer Harry Potter.
Intinya, jubah tersebut mencerminkan perjalanan akademis setiap siswa di Portugal. Mulai dari minggu pertama sebagai mahasiswa baru yang dengan cemas mengantisipasi tugas praktik. Lalu selama belajar dengan tekun di kelas dan membangun persahabatan, hingga menjadi lulusan yang siap menghadapi dunia.