Boikot produk Israel sukses dan memang sudah berjalan beberapa bulan dan menimbulkan kerugian bagi Israel. Masuk pada hari ke-76 setelah serangan perdana Hamas ke Israel, serangan dari pihak Israel ke Palestina terus meluas dan menjadi semakin intensif. Data terbaru hingga Selasa (19/12/2023) mencatat bahwa sebanyak 19.453 orang dan 66 jurnalis di Gaza, Palestina telah kehilangan nyawa.
Reaksi masyarakat internasional terhadap serangan Israel semakin memanas. Seruan untuk melakukan boikot terhadap perusahaan, merek, atau produk yang terafiliasi dengan Israel semakin meningkat. Hingga saat ini, jumlah perusahaan yang terlibat dalam daftar boikot terus bertambah.
Beberapa perusahaan yang menjadi target boikot mulai merasa khawatir dan terancam. Untuk meredam kemarahan masyarakat dan mengurangi dampak status boikot, sejumlah perusahaan berupaya memberikan klarifikasi. Mengambil langkah ini karena gerakan boikot tersebut telah berdampak pada situasi keuangan perusahaan tersebut.
Boikot Produk Israel Sukses, Ini Nilai Kerugiannya!
Meskipun belum ada laporan terkini mengenai total kerugian yang Israel alami. Sebuah laporan dari Al Jazeera pada tahun 2018 mengindikasikan bahwa gerakan boikot berpotensi menyebabkan kerugian. Kerugian mencapai hingga US$11,5 miliar atau sekitar Rp177,91 triliun (menggunakan asumsi kurs Rp15.471/US$) per tahun bagi Israel.
Israel pun merasa khawatir terhadap dampak kerugian yang signifikan ini. Dalam beberapa waktu terakhir, fokus utama diplomatik Israel adalah menghadapi gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS). Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan telah mengambil tindakan melarang kelompok-kelompok yang mendukung gerakan boikot. Tindakan ini diambil karena ribuan orang di Israel dapat kehilangan pekerjaan jika negara mereka menjadi sasaran boikot penuh oleh komunitas internasional.
Dampak Boikot Terhadap Perekonomian Israel
Melansir dari The Jerusalem Post, Israel membantah bahwa gerakan boikot dapat merugikan mereka. Justru, boikot tersebut akan “menambah penderitaan rakyat Palestina, bukan menguranginya.” Organisasi non-profit berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), Brookings Institution, menyatakan bahwa gerakan BDS tidak akan secara drastis mempengaruhi perekonomian Israel. Sebab, sekitar 40 persen ekspor Israel adalah barang “intermediet” atau produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, seperti semikonduktor.
Selain itu, sekitar 50 persen dari ekspor Israel adalah barang “diferensiasi” atau barang yang tidak dapat digantikan, seperti chip komputer khusus. Namun, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekspor barang-barang “intermediet” mengalami penurunan tajam dari 2014 hingga 2016 sehingga menimbulkan kerugian sekitar US$6 miliar atau sekitar Rp94,16 triliun.
Indonesia kurangi impor dari Israel
Indonesia, meski tak punya hubungan diplomatik dengan Israel, punya hubungan dagang dengan negara tersebut. Sejak perang pecah, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia terhadap barang dari Israel mengalami penurunan sebesar 38,23% secara bulanan pada November 2023 menjadi US$1,56 juta atau setara dengan Rp 24,20 miliar (Rp 15.515/US$1). Kemudian, volume impor juga menurun sebesar 48,73% mtm.
Berdasarkan data dari BPS, penyumbang terbesar nilai impor yakni perkakas, perangkat potong (HS 82) sebesar US$463 ribu. Serta, mesin-mesin dan pesawat mekanik (HS 84) sebesar US$346 ribu. Kemudian, perangkat optik (HS 90) senilai US$245 ribu, mesin peralatan listrik (HS 85) senilai US$241 ribu, dan bahan kimia organik (HS 29) senilai US$90 ribu. Lemak dan minyak hewani/nabati (HS 22) US$34,7 ribu, serat stapel buatan (HS 55) US$19 ribu, bahan kimia anorganik (HS 28) US$13 ribu, benda-benda dari besi dan baja (HS 73) US$3,5 ribu, plastik dan barang dari plastik US$1,7 ribu.