Perbedaan kasus suspek, kontak erat dan kasus konfirmasi ini penting bagi kita ketahui. Selama masa pandemi COVID-19 yang lalu, kita pasti sering mendengar istilah-istilah seperti suspek, kontak erat, dan kasus konfirmasi. Istilah-istilah ini berguna untuk mengelompokkan orang berdasarkan indikasi dan kondisi yang mereka alami.
Sebenarnya, istilah-istilah tersebut telah ada sebelum kasus COVID-19 muncul. Namun, mayoritas orang baru menjadi familiar dengan istilah-istilah tersebut karena adanya himbauan dari pemerintah untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat atau segera mencari pertolongan dalam menghadapi situasi pandemi.
Perbedaan Kasus Suspek, Kontak Erat dan Kasus Konfirmasi
Nah, berikut perbedaan antara kasus suspek, kontak erat dan konfirmasi:
1. Kasus suspek
Kasus suspek merujuk pada individu yang diduga terinfeksi berdasarkan gejala klinis yang mereka alami atau faktor risiko yang ia miliki. Gejala klinis yang dapat muncul beragam, tergantung infeksi apa yang diidap pasien. Pada COVID-19 contohnya, gejala klinisnya bisa meliputi demam, batuk, sesak napas, dan hilangnya kemampuan mengecap atau mencium bau. Jika orang tersebut menunjukan tanda-tanda di atas, tenaga medis akan langsung mengkategorikan orang tersebut sebagai suspek.
Selain itu, faktor risiko seperti kontak dengan orang yang terkonfirmasi positif atau perjalanan ke daerah dengan tingkat penyebaran tinggi juga dapat membuat seseorang masuk kategori suspek. Dalam menangani kasus suspek, tenaga medis perlu segera melakukan tes diagnostik, seperti tes darah atau PCR. Tujuannya untuk mengkonfirmasi apakah individu tersebut benar-benar terinfeksi. Selama menunggu hasil tes, orang yang masuk kategori suspek juga wajib menjalani isolasi mandiri. Tujuannya untuk mencegah potensi penyebaran virus atau bakteri ke orang lain.
2. Kontak erat
Kategori selanjutnya adalah kontak erat. Seseorang masuk dalam kategori ini apabila terpapar langsung dengan orang yang terkonfirmasi penyakit. Paparan ini dapat terjadi dalam rentang waktu tertentu sebelum kasus konfirmasi mengalami gejala atau sejak gejala muncul. Kontak erat memiliki risiko tertinggi untuk tertular virus. Itu sebabnya, orang tersebut perlu segera melakukan langkah-langkah pencegahan yang ketat. Seseorang masuk dalam kategori kontak erat apabila melakukan interaksi, seperti berbicara dalam jarak dekat atau bersentuhan dengan orang yang terinfeksi.
Selain itu, kontak yang berlangsung lebih lama dianggap memiliki risiko yang lebih tinggi ketimbang kontak singkat. Tenaga medis akan melakukan tindakan preventif seperti karantina dan pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk meminimalisir penyebaran virus maupun bakteri.
3. Kasus konfirmasi
Sementara itu, kasus konfirmasi adalah individu yang hasil tesnya menunjukkan bahwa mereka positif terinfeksi penyakit. Kasus ini telah melewati proses konfirmasi dengan pemeriksaan diagnostik yang akurat. Identifikasi kasus konfirmasi merupakan langkah kunci dalam mengendalikan penyebaran penyakit. Maka dari itu, baik individu tersebut wajib menjalani tindakan isolasi serta pengobatan.
Tujuannya untuk mencegah penularan lebih lanjut dan mencegah potensi komplikasi yang bisa terjadi. Selanjutnya, tenaga medis akan melakukan pelacakan kontak. Hal ini sangat krusial dalam menangani kasus konfirmasi. Pasalnya, pelacakan kontak bertujuan untuk mencari individu yang mungkin terpapar. Mereka yang terlack nantinya akan teridentifikasi dan melakukan pengujian lebih lanjut. Hal ini merupakan langkah-langkah pencegahan dapat diambil lebih awal. Pentingnya transparansi dalam melaporkan kasus konfirmasi juga merupakan elemen kunci dalam upaya kontrol penularan suatu penyakit.
Jadi, sudah jelas bukan perbedaan antara suspek, kontak erat dan kasus konfirmasi?