Baru-baru ini, film biopik lokal kembali menghadirkan pengalaman yang memuaskan dengan karya terbaru dari Fajar Bustomi yang mengangkat kisah Buya Hamka. Film ini berhasil mengobati kerinduan terhadap film biopik berkualitas tinggi yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mengangkat kisah seorang tokoh sebesar Buya Hamka bukanlah hal yang mudah. Para produser pun sangat sadar akan kompleksitas tugas ini. Oleh karena itu, mereka tidak ragu untuk menggelontorkan dana produksi yang fantastis, yang kabarnya mencapai puluhan miliar. Hasil dari investasi besar ini terlihat jelas dari nilai produksi yang tinggi dan jauh dari kesan murahan.
Kualitas produksi yang baik tercermin dari pemilihan lokasi hingga desain set film yang disusun secara cermat. Semua elemen ini berperan penting dalam menggambarkan suasana era 1940-an dengan akurat. Kostum para karakter juga dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan waktu yang digambarkan, tanpa terkesan terlalu modern atau kuno.
Selain aspek visual yang memukau, dana besar juga diarahkan ke departemen musik dan audio film ini. Skoring musik sepanjang film terasa sangat megah dan berkesan. Purwacaraka, sebagai penata musik yang berpengalaman, berhasil menghadirkan pengalaman mendalam dalam hal audio.
Proyek film Buya Hamka memperlihatkan ambisinya yang besar, terutama dalam hal jajaran pemainnya. Sejak awal, format ansambel cast yang diperkenalkan oleh Buya Hamka menjanjikan kehadiran aktor-aktor hebat Indonesia.
Bintang seperti Vino G. Bastian, Laudya Cynthia Bella, Donny Damara, Teuku Rifku Wikana, Verdi Solaiman, hingga Desy Ratnasari tampil dalam peran penting di tiga babak cerita Buya Hamka. Selain itu, sejumlah aktor terkenal lainnya juga ikut berkontribusi dalam peran-peran lebih kecil atau sebagai kameo.
Vino G. Bastian dan Laudya Cynthia Bella, yang mengambil peran utama dalam film biopik ini, berhasil tampil mengesankan. Vino, yang berperan sebagai Buya Hamka, mampu menjawab keraguan penonton dengan akting yang penuh pesona. Pengucapan logat Minang oleh Vino sebagai Buya Hamka terdengar meyakinkan, bahkan bagi penonton awam seperti saya.
Vino juga menguasai berbagai aspek akting, termasuk gestur, ekspresi, dan intonasi, yang cocok dengan karakter “versi” Buya Hamka yang sedang diperankan. Ketika Buya Hamka menjadi seorang ulama, karakternya dipresentasikan dengan kecerdasan dan moderasi yang tepat. Saat menjadi wartawan dan menghadapi Belanda, Buya Hamka tampil penuh keteguhan dan tanpa rasa gentar.
Namun, saat Buya Hamka bersama istrinya, Vino berhasil menunjukkan sisi romantis karakter tersebut, menampilkan kerapuhan yang sangat manusiawi.
Performa Vino semakin terangkat dengan akting Laudya Cynthia Bella sebagai Sitti Raham, sang istri. Keberadaan Laudya memberikan kelembutan dan ketenangan di tengah perjalanan hidup Buya Hamka sebagai ulama dan pejuang yang bersemangat.
Sayangnya, film ini mengalami beberapa kelemahan dalam hal penulisan cerita. Gaya penceritaan yang melompat dari satu momen penting ke momen lainnya memberikan kesan yang kurang mulus. Terkadang terasa seperti cerita terlalu terburu-buru, karena harus menggambarkan banyak peristiwa penting dalam jejak sejarah sang cendekiawan. Akibatnya, detail peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Buya Hamka terasa kurang mendalam.
Para penonton terkadang merasa hanya mengikuti kisah Buya Hamka dari satu periode waktu tertentu ke periode lain, tanpa ada benang merah yang kuat yang menghubungkan semuanya.
Padahal, film ini telah mengadaptasi kisah hidup Buya Hamka dengan cukup seimbang, tanpa kelebihan yang berlebihan.
Emosi penonton baru benar-benar tergugah menjelang sepertiga terakhir film, ketika “time jump” dari satu momen ke momen lain mulai berkurang. Meskipun film ini berhasil menyampaikan suasana dengan baik, ada beberapa bagian yang dirasa tidak membutuhkan musik skoring yang terlalu megah. Kehadiran musik tampaknya kurang memiliki pengaruh yang kuat dalam bagian-bagian tersebut.
Secara keseluruhan, meskipun ada beberapa kekurangan, “Buya Hamka” tetap menjadi film biopik lokal yang pantas mendapat perhatian. Film ini masih memiliki dua bagian lanjutan yang akan menceritakan masa tua dan muda Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dengan waktu yang masih ada, studio masih bisa mendengarkan tanggapan penonton dan melakukan evaluasi. Jika diperlukan perbaikan, film ini berpotensi menjadi seri biopik yang sejalan dengan biaya produksi yang diinvestasikan.
“Buya Hamka” juga bisa menjadi alternatif yang menarik untuk ditonton, terutama di tengah gelombang film horor yang umumnya tayang selama musim libur Lebaran. Suasana Lebaran yang penuh dengan nilai-nilai keluarga cocok dengan kisah sang cendekiawan yang sarat dengan nilai-nilai luhur, sambil tetap menghibur.