Perkawinan diizinkan untuk pria berusia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasangan dapat dianggap menikah sebelum batas usia.
Namun, DPR melakukan perubahan pada peraturan perundangan tersebut pada tahun 2019. Hasil perubahan menyatakan bahwa usia minimal untuk menikah untuk laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Sayangnya, fakta tidak selalu mengikuti aturan negara.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama melaporkan pada tahun 2020 bahwa sebanyak 34 ribu permohonan untuk dispensasi perkawinan diterima; sebanyak 97 persen dari permohonan tersebut mendapat persetujuan, dan 60 persen dari pemohon adalah anak-anak di bawah 18 tahun.
Alasan Seseorang Melakukan Pernikahan Dini
Sebenarnya, ada banyak hal yang membuat pasangan akhirnya melakukan pernikahan dini, baik dari keluarga maupun lingkungan luar. Berikut beberapa di antaranya:
1. Kondisi ekonomi
Umumnya, ini terjadi pada pihak wanita yang keluarganya tidak memiliki kondisi ekonomi yang baik. Jadi, orang tua memutuskan untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan pria yang biasanya lebih mapan. Tujuannya tidak hanya mengurangi beban finansial, tetapi juga harapan agar sang anak mendapatkan hidup yang lebih baik.
2. Pendidikan
Alasan lain dari pernikahan dini adalah sosialisasi yang kurang pada orang tua yang hidup di pedesaan, terutama jika anak-anak mereka tidak mendapatkan akses yang layak untuk menempuh pendidikan wajib 12 tahun. Kondisi ini akan membuat anak merasa wajar saja menikah pada usia belia.
3. Internal orang tua
Kemudian, faktor internal dari keluarga, terutama orang tua yang memiliki rasa takut jika anak-anak melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Terlebih, seks bebas memang sangat rentan terjadi pada usia remaja ketika masuk masa pubertas dan anak mulai mengenal dan menjalin hubungan dengan lawan jenis.
4. Internet dan media massa
Era internet yang serba canggih dan modern seperti sekarang ini membuat semua orang menjadi sangat mudah dalam mengakses informasi dan konten dalam bentuk apapun. Mulai dari foto, video, hingga suara alias podcast. Jika orang tua tidak mampu menyaring konten untuk anak, bukan tidak mungkin sang buah hati yang mulai beranjak remaja akan lebih mudah terjerumus dalam pergaulan yang tidak tepat.
Inilah sebabnya, orang tua perlu memberikan aturan terkait penggunaan gawai dan akses internet untuk anak-anak.
5. Hamil sebelum menikah
Edukasi seks sejak dini untuk anak sebenarnya tidak menjadi hal yang tabu. Sebab, hal ini akan membuat anak mengerti berbagai risiko yang mungkin terjadi sebagai bentuk seks bebas. Salah satunya adalah kehamilan sebelum menikah yang memang lebih banyak terjadi pada usia anak. Guna menutupi aib inilah, keluarga lantas melakukan pernikahan dini pada anak.
Dampak Pernikahan Dini bagi Remaja
Pernikahan ini artinya pasangan melangsungkan pernikahan pada usia yang belum masuk dalam kategori mampu membina hubungan rumah tangga. Oleh karena itulah, pernikahan dini bisa memicu banyak efek, baik dalam sisi fisik maupun psikologis. Berikut beberapa di antaranya:
1. Masalah kesehatan mental
Studi menyebutkan, suami istri yang menikah ketika usianya belum 18 tahun berisiko mengidap masalah kesehatan mental hingga 41 persen. Ini termasuk gangguan kecemasan, depresi, trauma psikologis seperti PTSD, dan gangguan disosiatif, misalnya kepribadian ganda.
Selain itu, Organisasi Dana Anak Perserikatan Bangsa (UNICEF) juga menyebutkan, remaja sebenarnya belum memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi dan mengambil keputusan dengan bijak. Sebab, mereka masih membutuhkan arahan dari orang tua.
Ini berarti, saat konflik rumah tangga terjadi, pasangan kerap kali mengutamakan kekerasan sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hal inilah yang selanjutnya menjadi pemicu munculnya berbagai macam masalah kesehatan mental.
Tidak hanya itu, masalah mental juga bisa muncul karena wanita yang mengalami keguguran. Ini karena tubuh yang masih belum optimal untuk hamil dan melahirkan pada usia belia, sehingga keguguran pun sangat rentan terjadi.
2. Tekanan sosial
Tak sedikit masyarakat Indonesia yang hidup pada lingkungan yang terbilang komunal. Artinya, kerabat, keluarga, tetangga, dan masyarakat lain bisa membawa beban tertentu untuk pasangan suami istri yang masih remaja atau belum cukup umur untuk menikah.
Contoh sederhana adanya efek tekanan sosial pada pernikahan dini adalah suami yang sudah harus bertanggung jawab menjadi kepala keluarga dan harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Sementara itu, istri memiliki beban dan tanggung jawab terhadap semua urusan rumah tangga, termasuk mendidik anak.
Padahal, jika kamu perhatikan pada sisi psikologis, pasangan yang menikah pada usia sangat muda belum siap sepenuhnya untuk mengemban tanggung jawab itu. Sayangnya, jika mereka tidak berhasil memenuhi semua bentuk tugas tersebut, orang-orang kerap mengucilkan dan menganggap mereka buruk.
3. Mengalami kecanduan
Dampak lainnya adalah pasangan yang mengalami kecanduan, entah itu merokok, menggunakan narkoba, mengonsumsi minuman beralkohol, hingga judi. Alasannya sangat sederhana, yaitu mengurangi stres dan beban pikiran yang memang seharusnya belum menjadi tanggungan mereka.
Selain itu, remaja memang masih belum mengetahui dengan baik bagaimana cara yang tepat dan sehat untuk mencari solusi atau mengekspresikan emosi ketika sedang mengalami stres akibat permasalahan rumah tangga.
4. Peningkatan risiko infeksi menular seksual
Aktivitas seksual, termasuk berhubungan intim yang berlangsung pada pasangan yang masih belum berusia 18 tahun akan lebih tinggi risikonya untuk mengalami berbagai masalah infeksi menular seksual. Ini termasuk HIV atau sifilis.
Tentu, hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan. Ini karena edukasi seks aman dan sehat pada anak yang terbilang masih sangat minim. Selain itu, sosialisasi kepada orang tua dan masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi ketika berhubungan intim yang masih rendah.
5. Peningkatan risiko kekerasan seksual dalam rumah tangga
Studi menyebutkan, wanita yang melakukan pernikahan dini memiliki risiko mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang lebih tinggi. Sebab, usia yang masih sangat belia untuk membina hubungan rumah tangga kerap kali membuat pasangan masih belum dapat berpikir logis dan dewasa.
Selain itu, keadaan emosi anak juga belum stabil yang membuat mereka sangat mudah terbawa emosi, ego, dan amarah. Akhirnya, masalah yang muncul bukan mendapat solusi dan penyelesaian melalui diskusi dan komunikasi, melainkan lebih sering menggunakan kekerasan, baik verbal maupun fisik.
Bahkan, risiko pihak wanita dalam mengalami kekerasan seksual pada hubungan rumah tangga juga sama tingginya saat melakukan pernikahan dini. Terutama untuk pasangan yang tinggal jauh dari orang tua dan jarak usia yang terpaut lebih jauh.
6. Risiko tingkat ekonomi yang rendah
Selain kesehatan, melakukan pernikahan dini juga disebut dapat mengambil paksa masa remaja wanita. Sebab, masa muda mereka harusnya diisi dengan belajar dan mengembangkan kemampuan diri supaya bisa mendapatkan masa depan yang cerah dan kondisi finansial yang pastinya lebih baik.
Sayangnya, menikah pada usia belia mewajibkan perempuan muda harus mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Inilah alasannya, sebagian besar perempuan yang menjalani pernikahan pada usia yang begitu muda berhenti atau putus sekolah. Hal yang sama juga terjadi pada pria yang sudah harus memberi nafkah untuk keluarga.
Menikah bukan menjadi perkara yang sederhana dan mudah. Setiap pasangan perlu matang secara fisik, emosi, dan mental. Inilah alasannya mengapa pernikahan dini seharusnya tidak dilakukan. Selain itu, pasangan juga harus memiliki kesiapan mental dan finansial guna menghindari konflik rumah tangga.
Jangan ragu untuk konsultasi dengan psikolog atau ahlinya apabila mengalami kondisi mental yang terganggu akibat pernikahan dini yang kurang persiapan.