Dampak psikologis anak yang menjadi konten media sosial penting bagi para orang tua mengetahuinya. Kini, banyak ibu yang bekerja sebagai influencer kerap aktif di media sosial. Mereka menggunakan platform ini sebagai wadah untuk mengekspresikan diri, terutama dengan konten yang melibatkan kehidupan sehari-hari bersama anak-anak mereka.
Menghadirkan unjuk bakat, imajinasi, dan tingkah lucu sang anak seringkali menjadi daya tarik yang memikat netizen. Namun, perlu kamu ingat bahwa ada risiko ketika orang tua tidak memiliki batasan yang tepat terkait konten yang terunggah ke media sosial. Terutama yang berkaitan dengan kehidupan anak-anak mereka.
Konten yang awalnya bertujuan untuk menghibur bisa berpotensi berujung pada eksploitasi, yang dapat berdampak negatif secara psikologis bagi anak-anak. Oleh karena itu, penting bagi ibu muda untuk memahami beberapa dampak psikologis yang perlu dicegah. Seperti mengutip dari penelitian psikolog klinis Laura Kirby dan situs Verywellmind.
Dampak Psikologis Terhadap Anak yang Menjadi Konten Medsos
1. CyberbullyingÂ
Jika sebagai orang tua bermaksud untuk mengunggah kegiatan sang anak saat berlatih menggambar atau mengembangkan bakat di bidang dance tentu sah-sah saja. Akan tetapi, perlu mengenali batasan. Terlebih orang tua tidak perlu menginformasikan nama lengkap, alamat, tanggal lahir anak, dan informasi berbentuk privasi lainnya.
Hal ini tentu sangat perlu dipertimbangkan, karena data-data dengan mudah dapat dicuri untuk kegiatan kriminalitas. Di sisi lain, orang tua perlu mempertimbangkan dalam hal mengunggah foto-foto lucu dari sang anak yang dianggap menggemaskan, bisa saja di kemudian hari menjadi persoalan bagi anak ketika beranjak remaja. Teman-teman dari sang anak mungkin akan menertawakan atau ada aksi bullying yang terjadi dari unggahan foto atau video tersebut.
Jejak digital yang terekam juga dapat menuai komentar dari berbagai pengguna media sosial yang lain, seperti memberikan komentar yang mengarah ke cyberbullying. Tentu hal ini akan berdampak buruk bagi psikologis anak dalam berinteraksi sosial
2. Krisis Identitas

Saat orang tua secara berlebihan membagikan foto dan konten di media sosial tentang hal yang menarik dari sudut pandangnya, maka anak yang beranjak jadi remaja bisa saja mengalami kebingungan tentang identitas dirinya sendiri. Sebab saat kecil, orang tuanya sudah secara tidak langsung mengontrol tentang pembentukan identitas anak dengan membagikan unggahan foto dan video menurut bidang ketertarikan orang tua atau berdasarkan hal yang viral saat itu.
Sehingga, saat remaja, anak mengalami bingung tentang dirinya sendiri. Contohnya, saat kecil orangtua sering mengunggah kegiatan anak saat mengikuti kelas menari. Padahal belum tentu anak memiliki bakat dan minat di bidang tersebut.
Ketika remaja, anak ternyata memiliki ketertarikan atau minat di bidang lain, tapi ia ragu dengan pilihannya karena sejak kecil ia sudah terbiasa mengekspresikan sesuatu berdasarkan arahan orangtua lewat unggahan-unggahan di media sosial yang dinilai berlebihan.
3. Anak Menjadi Tertutup

Ketika anak pernah mengalami kasus bullying akibat unggahan di media sosial dan konten di masa kecilnya. Maka anak bisa menjadi tidak mau banyak bercerita dengan orang lain. Termasuk orang yang sebelumnya dianggap dekat atau dinilai sebagai sahabatnya.
Sifat yang tertutup membuat anak tidak berani mengekspresikan diri, termasuk pikiran, emosi dan perasaannya. Hal ini akan membuat anak melakukan berbagai hal secara diam-diam, tanpa ijin dari orangtua dan orang-orang terdekatnya. Ketika ada masalah, anak memilih untuk menutupinya karena khawatir akan mendapatkan perasaan kecewa di kemudian hari.
4. Hilang Kepercayaan dari Anak

Saat anak tidak diajak diskusi dan mendapatkan penjelasan dari orang tuanya tentang alasan konten-konten tersebut dimuat di media sosial. Maka anak dapat saja berpikir kegiatan yang dilakukan oleh orang tuanya sebagai bentuk paksaan yang dapat berujung pada eksploitasi anak, karena tak ada batasan yang jelas.
Akibatnya, karena belum adanya keterbukaan komunikasi antara anak dan orang tua. Maka anak pun sulit untuk percaya pada orang tuanya dan memilih untuk tidak dekat dan menjalin interaksi yang akrab dengan orang tua.
Oke, itu tadi bahaya atau dampak psikologis yang bisa terjadi jika tak memberikan batasan yang jelas dalam membuat konten tentang anak. Cegah hal ini, jangan sampai terjadi ya!