4 alasan perempuan menjadi korban kekerasan dan sulit untuk speak up ini penting bagi kita ketahui. Kejadian kekerasan sering kali menghiasi lingkungan sekitar kita, khususnya dalam bentuk kekerasan dalam hubungan yang sering menimpa perempuan. Menanggapi fenomena ini, respons yang paling masuk akal bagi korban adalah melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang atau orang terdekat.
Namun, sayangnya, sebagian besar perempuan yang menjadi korban kekerasan cenderung memilih untuk menjaga keheningan dan enggan melapor. Menurut informasi dari Glamour, terdapat beberapa alasan yang mendasari ketidakberanian korban kekerasan untuk bersuara meskipun telah mengalami kekerasan dalam hubungan.
4 Alasan Perempuan Menjadi Korban Kekerasan Sulit Speak Up
Risiko yang Mengancam Nyawa
Dalam kebanyakan kasus kekerasan, waktu paling berbahaya bagi korban adalah ketika mereka memilih untuk pergi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa rata-rata korban membutuhkan hingga 7 kali percobaan sebelum bisa benar-benar meninggalkan pelaku.
Sayangnya, ketika korban memutuskan untuk pergi atau melaporkan kasus kekerasan tersebut, pelaku akan merasa kehilangan kuasa dan kemampuan untuk mengontrol korban. Hasilnya, pada tahun 2018, dilaporkan bahwa sebanyak 41 persen perempuan yang terbunuh oleh pasangan atau mantan pasangannya di Inggris, Wales, dan Irlandia Utara telah berpisah atau sedang mengambil langkah untuk mempersiapkan perpisahan tersebut.
Proses Hukum yang Rumit

Selain berisiko, melaporkan tindakan kekerasan kepada polisi hampir tidak pernah menjadi pilihan pertama dari korban karena hilangnya rasa percaya terhadap institusi tersebut. Proses yang panjang untuk menuju persidangan dan penangkapan yang berpotensi membangkitkan trauma juga menjadi alasan keengganan untuk melapor.
Bahkan jika seorang anak terlibat dalam kasus ini, maka korban akan diarahkan ke pengadilan keluarga. Padahal, beberapa juru kampanye feminis menganggap pengadilan ini kerap digunakan oleh pelaku untuk terus berusaha mengontrol mantan pasangannya.
Traumatis

Kekerasan dalam hubungan meninggalkan trauma yang membuat korban bisa saja mengalami gangguan stres pasca-trauma. Â Perempuan yang mengalami kekerasan dua kali lebih berisiko untuk mengalami depresi. Bahkan, perkiraan dalam 1 minggu ada sekitar 3 perempuan meninggal karena bunuh diri akibat kekerasan dalam hubungan.
Hal ini senada dengan yang terungkap dalam blog Women’s Aid yang menyatakan bahwa korban memiliki kebebasan yang terbatas untuk membuat keputusan dalam hubungan yang sarat kekerasan. Mereka mengalami trauma dan selalu mendengar bahwa mereka tidak bisa sendirian dan membutuhkan pasangannya.
Ketakutan yang terus-menerus dialami ini membuat mereka hidup setiap hari dalam sebuah teror. Tidak mengherankan jika bagi sebagian besar korban, fokus untuk sembuh dari trauma serius ini lebih penting daripada harus mengejar keadilan dari pihak lain meskipun sebenarnya kedua hal ini seringkali berhubungan.
Terisolasi

Kebanyakan pelaku kekerasan dalam hubungan secara sengaja mengisolasi pasangannya dari keluarga, teman, dan orang yang bisa memberikan dukungan apa pun. Isolasi membuat korban menjadi sangat bergantung pada pasangannya tersebut. Sayangnya, hal ini membuat korban tidak punya tempat untuk meminta bantuan dan bercerita tentang hal yang mereka alami. Inilah yang menyebabkan korban sulit untuk meninggalkan hubungan itu.